Ternyata berenang solusinya... (part 2)


Putri bungsu kami lahir secara sectio. Dan dalam pertumbuhannya, semua tahapan perkembangan bayi ia lewati tanpa terlewat satupun. Beda dengan kakaknya yang melewatkan fase merangkak. Ia bisa berjalan di usia 12 bulan. Dan lancar bicara di usia 18 bulan.
Semuanya normal dan bagus. Ia pun tumbuh menjadi anak yang cantik dan menggemaskan.
Ketika di TK, dia mengikuti assessment. Hasilnya IQ masuk kategori superior. Pun ketika akan masuk SD, kembali dia mengikuti assessment sebagai syarat masuk SD. Hasil IQ nya lagi-lagi superior.
Senang dong...berarti anaknya tergolong cerdas.
Tapi tunggu...
Kenapa sampai kelas 1 SD ia masih kesulitan membaca? Mengaji belum bisa?
Padahal, kakak-kakaknya dari usia 5 tahun sudah lancar membaca latin dan mengeja huruh hijaiyah.
Metoda yang saya ajarkan sama. Kenapa di kakak-kakaknya berhasil tapi tidak dengannya? Kan kemampuan tiap anak beda. Betul. Mari kita lihat kasusnya.
Ketika saya ajarkan membaca, saya ajarkan kata ba, kata bi dia lupa. Saya ajarkan kata bi, kata ba dia lupa. Begitupun mengaji. Saja ajarkan ba, ta lupa. Saya ajarkan ta, ba lupa.
Ketika mengajarkan warna dalam bahasa Inggris, saya gunakan metoda lain. Pakai alat peraga. Mudah-mudahan dengan melihat objek dia lebih mudah paham dan hafal.
Saya ambil semua benda yang berwarna merah seperti tas, mangkok, gelas dan lain-lain. Serta benda-benda yang berwarna putih seperti mug, baju, vas bunga dan lain-lain.
Saya tunjuk mangkok warna merah sambil berkata, "ini red".
"Apa warna ini?"
"Red", jawabnya.
Saya tunjuk beberapa benda warna merah lainnya. Dengan fasih dia sebut, "Red"...."red".
Kemudian saya ambil benda warna putih. Saya berkata, "ini warnanya white".
"Apa warna ini?"
"White" jawabnya.
Saya ambil satu benda putih lagi.
"Ini warnanya apa?"
"White", jawabnya pasti.
Oke. Sepertinya dia paham. Saya coba kembali ke warna merah.
"Kalau ini warnanya apa tadi?"
"Duuh... Tadi apa ya? Kok icha lupa?"
Yaa....salam. Secepat itu dia lupa. Tak sampai 3 menit. Gregetan? Banget.
Seperti apapun metode yang saya ajarkan tetap dia kesulitan mengeja huruf latin dan hijaiyah. Boro-boro lancar. Akhirnya saya menyerah mengajarkannya. Saya biarkan keadaan seperti itu dulu. Dari pada nanti saya emosi dan dia stres. Lebih baik saya dan suami diamkan dulu sambil berpikir mencari solusi.
Sementara itu, setiap dapat buku laporan mingguan dari gurunya selalu berisi "Alyssa kurang bertanggung jawab terhadap barang-barangnya." Setiap hari selalu ada yang ketinggalan".
Ya, setiap hari selalu aja ada barangnya yang ketinggalan di kelas. Entah pensil, kotak pensil, buku, tempat minum, kotak bekal dan lain-lain.
Tibalah saat ujian semester 1. Dia berkata, "Bu, ujian PAI tentang rukun Iman dan rukun Islam."
Ya Allah.... Untuk mengingat ba, bi aja dia kesusahan. Apalagi menghafal rukun iman dan rukun Islam.
Akhirnya, tetap saya bacakan berulang-ulang sambil bilang, "besok Alyssa kerjakan semampu Alyssa ya?"
Untung saja dia bersekolah di SD swasta yang tak mensyaratkan murid kelas 1 harus lancar membaca. Di mana sekelas hanya berisi 24 orang dengan guru kelas 2 orang. Ketika ada anak yang belum lancar membaca, gurunya akan membacakan soal ujian dan jawaban pilihan gandanya dengan sabar.
Pernah suatu pagi ia memainkan kunci mobil. Ketika siang ayahnya hendak pergi, kunci mobil tak ketemu. Ketika ditanya dimana dia meletakkan kunci mobil, jawabnya, "Icha lupa." Dan kamipun mencari kunci sesorean.
Kadang sempat berpikir, apakah anak superior sepelupa ini?
Tapi kakak perempuannya juga superior. Dan dia memang unggul di akademis. Tak pernah sekalipun keluar dari 3 besar di kelasnya.
Apa ini jenis superior yang lain? Saya jadi ingat komik donal bebek, profesor Lang Ling Lung yang cerdas tapi sangat pelupa.
Benar-benar bingung saya menghadapinya.
Akhirnya ketika liburan semester, kami kembali ke Bandung dan menemui psikolog yang pernah menangani kakak laki-lakinya itu.
Setelah serangkaian tes tertulis dan tanya jawab, sang psikolog meminta anakku berdiri lurus kemudian tangannya meraba tulang punggungnya dari atas sampai ke bawah dengan teliti.
Hasilnya, dia superior tapi dia tak bisa fokus. Ada ruas tulang punggungnya yang geser. Kalau tak salah urutan nomor 3 dan 4.
Kata psikolognya,
"Dia bukan pelupa. Hanya dia tak bisa fokus. Sehingga kesulitan untuk mengingat. Ada 2 ruas tulang punggungnya yang geser. Dan itu harus dibenarkan. Karena banyak syaraf penting di sana. Ada 2 cara untuk membenarkannya. Dengan diurut oleh tukang urut, tapi dia sakit. Atau dengan berenang."
Owh...pastilah kami memilih terapi berenang.
Akhirnya sepulang dari Bandung, segera saya daftarkan di klub berenang tempat kakaknya les.
Dan hasilnya memang luar biasa. Di akhir semester 2 kelas 1, dia sudah lancar membaca. Tahsin yang tadinya jilid 1 hanya bolak balik halaman 2 dan 3, sekarang tamat. Lanjut ke jilid 2.
Barang-barangnya, walau masih ada yang ketinggalan, tapi sudah menurun dengan drastis.
Semua itu terjadi hanya dengan terapi berenang selama 6 bulan. Kemudian berenang ini saya lanjutkan sampai hampir 2 tahun.
Dan di awal kelas 3, komite sekolah mengadakan acara peringatan hari guru, dia terpilih untuk membaca puisi.
Saya tadinya ketar ketir, khawatir dia kesulitan menghafal puisi yang cukup panjang sehingga penampilannya kurang maksimal. Tapi ternyata, hanya dengan 4 kali membaca puisi tersebut, dia sudah hafal.
Sekarang, ia sudah kelas 1 SMP. Dan sama seperti kakaknya, ia pun atlet memanah, olahraga yang menuntut fokus tinggi. Kalau kakaknya atlet memanah pelajar Kabupaten Serang, karena ia bersekolah di sebuah pesantren di Anyer, Kabupaten Serang, daj juga atlet daerah kabupaten Karawang, maka ia adalah atlet memanah pelajar Kabupaten Karawang. Karena ia bersekolah di Karawang, yang merupakan domisili kami saat ini.



Kalau seandainya tak ada wabah covid-19, bulan Juli tahun ini mereka akan ikut POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah) membela kabupatennya masing-masing. Tapi qadarullah, semua agenda dibatalkan karena wabah ini.
Berenang, adalah olahraga yang sangat baik. Bahkan olahraga terbaik buat ibu hamil karena minim benturan. Dan merupakan salah satu dari tiga olahraga yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lalu. Manfaatnya sangat nyata.
Saya jadi ingat ketika masih aktif berenang waktu SMP dulu. Ada tiga orang teman klub saya yang penderita asma akut. Yang apabila kena udara dingin atau kelelahan, asmanya langsung kambuh. Setelah 1 tahun berenang rutin, asmanya tak pernah kambuh, malah bisa dibilang sembuh. Itu karena selama berenang, pernafasannya teratur, paru-parunya kuat dan badannya menjadi bugar.
Begitu juga dengan satu orang teman klub Alyssa yang juga penderita asma. Dua tahun berenang rutin, asmanya sembuh. Tak pernah kambuh walau pemicunya sering datang.
Masya Allah...
Makanya, jangan ragu untuk melaksanakan sunnah Rasulullah ini, "Ajarkan anakmu berenang, memanah dan berkuda".
***********

Catatan.
Tulisan ini diunggah di Grup Komunitas Bisa Menulis pada tanggal 22 Juni 2020.
Di repon oleh lebih 7.700 orang, dikomentari oleh 961 orang dan dibagikan lebih 2.200 kali

Ternyata berenang solusinya... (part 1)


Anakku yang ketiga berjenis kelamin laki-laki. Apabila saya perhatikan, tahapan perkembangannya berbeda dengan kakak-kakak perempuannya. Kupikir, memang begitu laki-laki. lebih gesit dari perempuan.

Kakak-kakaknya, semua melewati fase, tengkurap, merayap, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan. Tapi si bujang saya ini, setelah fase tengkurap, merayap, duduk, berdiri dan langsung berjalan. Ia melewatkan fase merangkak. Ia berjalan di usia 10 bulan. Usia 11 bulan jalannya sudah mantap.

Saya sendiri kaget melihat lompatan perkembangannya yang melewatkan fase merangkak.
Karena kekurangan ilmu, saya malah merasa anak saya hebat karena tumbuh kembangnya lebih cepat dari teman sebayanya. Di saat temannya baru bisa jalan selangkah dua langkah di usia 12 bulan, dia sudah melesat berlari di usia yang sama.
Tak taunya...
Kalau dilihat sepintas seperti tak ada masalah dengan dirinya. Dia aktif, ceria, bicara sudah lancar di usia 2 tahun 2 bulan, ramah dan mudah menyapa siapa saja, makanan apa aja lewat, mudah memahami instruksi, dan sangat ingin tahu.
Tapi lama kelamaan saya memperhatikan ada yang berbeda dari tumbuh kembangnya.
Dia tidak bisa diam. Selalu bergerak. Sampai ada tetangga yang bilang dia hiperaktif. Tapi saya yakin itu bukan hiperaktif. Karena anak yng hiperaktif cenderung destruktif. Merusak. Seperti ambil mainan ini. Baru sebentar sudah bosan. Dan barang itu di lempar. Semua dipanjat, yang ujungnya merusak barang.
Saya cenderung menganggapnya hiperkinetis. Kelebihan energi. Dia juga tidak bisa duduk diam dalam jangka waktu lama. Sering sekali jatuh atau menabrak sesuatu. Tidak mampu berjalan di balok titian. Selalu jatuh di tengah. Padahal panjang balok titian itu cuma 1,5 m. Tidak fokus. Fokus sangat mudah teralihkan.
Bagi orang yang melihat, termasuk ayahnya, tidak ada masalah pada dirinya. "Maklum...masih kecil". Itu pembenaran kepada dirinya yang waktu itu belum berusia 5 tahun. Tapi feeling seorang ibu biasanya jarang yang meleset bukan?
Bahkan ketika TK, gurunya memberi dia julukan "si 5 menit buyar". Karena cuma rentang 5 menit itu ia bisa mempertahankan fokusnya. Selebihnya dia akan asyik sendiri dengan kegiatannya. Jadi kalau jadwal tahsin dan tahfidz di pagi hari, ia selalu diberi giliran pertama, sebelum fokusnya hilang.
Suatu ketika, saat itu dia sudah kelas 2 SD, kami berkesempatan ke Bandung dan berbicara dengan adik ipar (adik suami) yang kebetulan belum lama wisuda S2 psikologi. Beliau menyarankan kami berkonsultasi dengan temannya sesama psikolog juga, agar hasilnya objektif. Karena kalau ia yang menguji, khawatir hasilnya subjektif karena itu keponakannya sendiri.
Kemudian kamipun mendatangi psikolog yang dirujuk. Setelah melewati serangkaian tes dan tanya jawab, ternyata semua masalah yang timbul adalah karena ia melewatkan fase merangkak sewaktu bayi.
Ternyata merangkak itu adalah suatu fase yang sangat penting bagi seorang anak.
Diantaranya :
1. Memperkuat otot dan melatih koordinasi tubuh dalam beraktifitas seperti berjalan, berolahraga, makan dan lain-lain.
2. Mengasah otak kanan dan kiri karena saat merangkak, otak terlatih untuk mengkoordinasi gerakan dan ritme tubuh bayi sehingga membuat otak saling berinteraksi.
3. Melatih keseimbangan tubuh.
Uraian psikolog itu benar-benar mengagetkanku. Tak menyangka kalau melewatkan sebuah fase yang tadinya saya angggap sepele tapi ternyata menimbulkan efek yang tidak main-main.
Dan solusi yang diberikan oleh psikolog itu cukup sederhana. Berenang. Bukan main air. Benar-benar berenang yang teratur latihannya. Karena di dalam berenang, sudah tercukupi semua terapi yang harus ia jalani.
Manfaat berenang diantaranya sebagai terapi:
1. Fokus.
Dengan berenang ia harus fokus mengkoordinasikan semua gerakan tubuhnya, kaki dan tangan serta bernafas sehingga ia tidak tenggelam dan bisa melaju.
2. Melatih keseimbangan diri.
Koordinasi yang baik antara gerakan kaki dan tangan, juga otak, akan melatih keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia bisa mengambang
3. Mengasah perkembangan otak kanan dan kiri.
Gerakan yang teratur dan selang seling antara bagian tubuh yang kanan dan diri itu akan mengasah perkembangan otak kanan dan kirinya.
Dari banyak orang yang saya amati (saya mantan atlet renang) perenang rata-rata berotak cerdas dan bagus di nilai akademik
4. Fisik bugar dengan paru-paru yang sangat bagus.
Setelah mendapat nasehat dari psikolog ini segera saya daftarkan ia ke sebuah klub renang di kotaku.
Sebenarnya bisa saja saya melatihnya sendiri. Karena dulu saya mantan atlet renang daerah. Tapi karena ia masih SD kelas 2, ia butuh teman untuk penyemangat. Bisa bercanda dan bermain di sela-sela berenang. Maka klub adalah pilihan saya. Dan juga, untuk menegakkan disiplin latihan. Karena ia lebih sungkan dengan orang lain dari pada ke ibunya sendiri.
Setelah setahun lebih latihan berenang di klub, perubahan yang terjadi, bagi saya benar-benar luar biasa.
Dia yang tadinya tak bisa duduk lama, sekarang sudah bisa duduk manis membaca buku sampai satu jam. Dulu, menahannya untuk membaca 10 menit saja harus pakai iming-iming hadiah. Dia sudah bisa fokus mengerjakan PR sampai selesai.
Dia jarang sekali jatuh apalagi menabrak orang. Sudah mampu melewati balok titian sepanjang 2 m.
Sebelum terapi, dia sudah 3 kali kecebur got ketika naik sepeda. Lari menuju pintu kamar tapi malah menabrak dinding sebelah pintu. Itu semua akibat keseimbangan yang tidak stabil. Alhamdulillah, cerita-cerita sedih itu sekarang sudah tak terjadi lagi.
Sekarang ia sudah kelas 2 SMA. Dia merupakan atlet panahan pelajar kota Serang, Banten. Sekaligus atlet panahan daerah Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Panahan adalah sebuah olahraga yang menuntut fokus dan kesabaran. Ia juga lulus dengan nilai UN tertinggi ketika SD dan SMP. Ia juga seorang programmer yang pernah juara 1 robotic di Banten. Sebuah kegiatan yang juga menuntut fokus dan kekuatan logika. Bahkan baru-baru ini ia adalah finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah SMA tingkat nasional yang diadakan oleh Universitas Gajah mada.



Sebuah perubahan total akibat manfaat berenang.
Maka benarlah sabda nabi kita, Muhammad SAW, 14 abad yang lalu. "Ajarkanlah anakmu berenang, memanah dan berkuda".
Padahal, kalau dipikir, Arab jaman dahulu (khususnya Mekah dan Madinah) adalah daerah yang tandus. Tak ada sungai apalagi danau, boro-boro kolam renang. Kenapa Rasulullah menyuruh kita untuk belajar berenang yang beliau sendiri mungkin tak tau manfaatnya, kalau bukan karena itu adalah perintah dari Allah SWT?
Maha Suci Allah, yang setiap perintahnya pasti mengandung hikmah.
Akhir kata, saya sangat bersyukur kepada Allah yang telah menguji kami sekian tahun akibat melewatkan fase merangkak itu. Sehingga banyak usaha dalam memperbaikinya dan berujung manis dengan semua pengalaman itu.
By : Akhmaneli ibu 4 anak

Catatatan

Tulisan ini diunggah di grup Komunitas Bisa Menulis tanggal 21 Juni 2020.
Dan direspon oleh lebih 12.000 orang, dikomentari oleh lebih 1.900 orang dan dibagikan lebih dari 9.700 kali

Cukup satu kalimat



Siapapun tau, ketika anak-anak masih kecil, rasanya dari bangun tidur sampai tidur lagi, kehebohan demi kehebohan berlangsung secara simultan. Kadang paralalel kadang seri. (kita lagi belajar rangkaian listrik ya pren 😁).
Mereka dengan segala tingkahnya, entah itu berantam, atau bermain, berikut segala printilan urusan rumah tangga, kalau tak memiliki khadimat, maka energi badan cepat menguap, sekaligus bisa menyedot rasa sabar.
Pekerjaan yg itu-itu melulu, yg dilakukan terus menerus, di tempat yg sama, memang rentan memicu rasa stres. Ketika si ibu stres, tak mengherankan, anak yang jadi pelampiasan. Karena si anak berada dalam posisi terlemah.
Makanya, bantuan dari suami itu penting, wahai bapak-bapak. Sedikit tawaran bantuan, itu seperti ketemu oase di padang pasir nan maha luas. Apalagi tawaran itu ngajak keluar, makan, belanja apa yang dia mau. Atau piknik. Asyiiik....
Tapi pastikan stresnya tidak berpindah kepada anda, karena melihat besarnya tagihan yang harus di bayar.
Ada satu hal tawaran yang murah meriah tapi sangat efektif. Sering dilakukan suamiku dulu ketika anak-anak masih kecil sampai menjelang abege. Murah meriah. Dijamin tak keluar duit.
Ajak bicara dan sediakan telinga yang lapang.
Dulu, sepulang dari kantor, setelah menyapa anak-anak, hal yang pertama dia tanya ke saya adalah,
"Bagaimana hari ini, bu?"
Atau
"Hari ini masih waras, bu?" dengan nada jenaka.
Cukup satu kalimat saja...
Maka balasannya bisa ratusan kalimat. Bahkan mungkin ribuan kalimat. Mulai dari cerita keluh kesah mengurus anak-anak, yang ributlah, yg mecahin gelas lah, yang butuh ini itulah, sampai urusan mengurus rumah, urusan belanja ke pasar, urusan sekolah, tetangga, tukang sampah dan lain-lain...dan lain-lain
Setelah keluar semua uneg-uneg, legalah hati ini.
Cukup satu kalimat pembuka dan telinga yang selalu siap mendengar dengan penuh empati, tak pernah dikomen apalagi dikritik, hanya kata-kata "oh...hmm...ya" sdh cukup membuat beban hati sehari ini jadi lebih ringan, hilang sesak, dan sumpek.
Ketika semua sesaknya sudah keluar, semua rasa senangnya sudah tercurahkan, yakinlaah... Rumah tangga akan jauh lebih berseri. Karena istri adalah jantung rumah tangga.
Ketika ada telinga yang mendengar di rumah, maka takkan dia mencari telinga di luar sana. Tak kan dia berbagi keluh kesah di luar sana.
Jadi intinya, para emak-emak ini butuh PERHATIAN dan DIDENGAR. Bahwa dia capek, dia lelah, dia sakit, dia bahagia, dia gembira. Perhatian, dengar dan jangan dikritik. Itu solusi yg murah meriah.
Maka, cukup satu kalimat empati dan telinga yang terbuka, akan membuat hatinya lapang dan full power kembali menghadapi hari esok.
Sekarang, kalimat sapaan itu masih sering menyapaku. Hanya tak seintens dulu. Karena anak-anak sudah besar. Bahkan dua orang anak kami sudah berada di kota yg berbeda karena menuntut ilmu. Tinggal si bungsu saja yang masih di rumah. Jadi tingkat kewarasan sdh lebih baik. #ehh.... 😂😂
Karawang, 22 September 2019

Safety First itu PENTING


Turut berduka cita buat siswa-siswa SMPN 1 Turi atas musibah susur sungai.
Anak saya semuanya bersekolah di sekolah alam. Kegiatan luar (outdoor) adalah kegiatan keseharian mereka.
Tapi semua kegiatan itu dilakukan sudah terukur, teruji dan di bawah pengawasan ahli. Dan faktor keselamatan anak-anak adalah faktor nomor satu dan tidak bisa ditawar-tawar.
Ada satu kegiatan yang sangat menantang dan cukup berbahaya dalam agenda mereka yaitu siswa-siswa kelas 5 SD melakukan ekspedisi ke pulau-pulau. Melakukan susur pantai dari beberapa pulau untuk melihat dan mempelajari biota laut. Ikut melakukan penanaman pohon mangrove, melepas tukik ke laut, ikut membudidayakan kerang, snorkling dan lain-lain.
Hati orang tua mana yang tidak ketar-ketir anaknya yg baru berumur rata-rata 10 tahun melakukan ekspedisi dari pulau ke pulau selama 5 hari, dan berhadapan dengan samudera lepas?
Tapi sekolah tentu tak akan melakukan kegiatan yang cukup berbahaya ini kalau tidak yakin benar-benar safety. Persiapan dilakukan berbulan-bulan. Di mulai dengan latihan fisik bagi anak-anak. Belajar berenang, belajar mengambang di air, trekking beberapa kilo dan lain-lain.
Sementara pihak sekolah, di samping mempersiapkan guru-guru pendampingnya, tenaga ahli, juga bekerja sama dengan nelayan setempat, untuk melihat kapan waktu yang tepat. Bukan musim penghujan, bukan musim badai, bukan pula musim pasang. Karena tentu nelayan yang paham dengan kondisi medan tempurnya.
Rata-rata keberangkatan mereka adalah di bulan Maret-April. Di bulan-bulan itu hari cerah dan laut tenang.
Alhamdulillah, selama ini (dan semoga seterusnya) anak-anak kami pulang dalam keadaan sehat selamat dan bahagia. Bertambah ilmu dan pengalamannya serta punya selaksa cerita yang mereka luapkan kepada kami tentang pengalaman ekspedisi mereka.
Ketika father's day 2 tahun yang lalu, kegiatan yang diadakan sekolah adalah kemping dan trekking anak dan ayah. Ayah harus merasakan salah satu kegiatan seru anak-anaknya ini.
Mereka akan membuat bivak bersama, tidur bersama di dalam bivak (kecuali kalau anaknya perempuan, ayah dan anak akan tidur terpisah. Anak perempuan tidur setenda dg teman perempuan dan ayah akan tidur di tenda bersama ayah lain yang anaknya perempuan juga), mendaki gunung, melintasi sungai, melewati curug dan lain-lain.
Karena acara father's day ini dilakukan di musim penghujan, penghujung Januari, ada beberapa peraturan yang harus mereka ikuti.
Salah satunya adalah ketika trekking mendaki gunung, jam 2 siang mereka semua sudah harus turun gunung. Jam 4 semua sudah berkumpul di posko di kaki gunung. Karena berbahaya berada di atas gunung lewat dari jam 2.
Ternyata ketika mereka dalam perjalanan turun, masih banyak remaja-remaja yang baru hendak naik ke gunung. Dan benar saja, setelah Asyar hujan turun dengan lebatnya. Sampai Isya mereka masih terjebak di atas gunung. Akhirnya beberapa penduduk desa naik ke gunung mencari mereka.
Safety first harus menjadi faktor utama dalam melakukn kekgiatan outdoor. Makanya saya sangat miris menbaca berita, ketika penduduk setempat sudah mengingatkan para guru dan pembina pramuka SMPN 1 Turi akan bahaya susur sungai di musim hujan ini. Tapi mereka dengan arogan berkata, "Hidup mati di tangan Allah".
Hidup mati memang di tangan Allah. Tapi bukan berarti kita bisa abai dengan keamanan anak-anak. Kalau sudah begini, mau ngomong apa? Harta dapat dicari, tapi nyawa tak ada yang menjual.
Semoga kejadian ini bisa diambil pelajarannya. Perhitungkan segala faktor resiko ketika melakukan kegiatan outdoor terutama yang membawa banyak siswa. Dan dengarkan penduduk setempat. Karena mereka yang sangat paham situasi daerahnya.
Semoga keluarga yang kehilangan putra putrinya bisa bersabar atas cobaan ini. Dan semoga siswa-siswa yang meninggal diterima segala amal ibadahnya dan diampuni segala dosanya. Aamiin ya rabbal'alamiin.
Catatan.
Tulisan ini diunggah di grup Komunitas Bisa Menulis tanggal 22 Februari 2020
dan direspon oleh 308 orang, dikomentari oleh 59 orang dan dibagikan oleh 15 orang

Ridho Istri = Ridho Allah ?



Semua pasti tau bahwa ridho suami adalah ridho Allah juga. Setiap kali istri melangkahkan kakinya keluar rumah tanpa ridho suami adalah dosa baginya.
Tapi bagaimana dengan istri? Ketika ia tidak ridho pada suaminya, apakah Allah juga tidak ridho?
Mari kita check guys...
Saya ingat kejadian beberapa tahun yang lampau. Ketika itu anak-anak masih kecil. Si sulung masih SD. Sekarang ia sudah kuliah.
Udah kebayang kan, setua mana saya kira-kira?
Ketika itu, suami sangat sibuk-sibuknya. Pulang selalu di atas jam 10 malam. Karena perusahaannya lagi kedatangan utusan dari perusahaan owner di Jepang. Dan beliau ditugaskan mendampingi sang tamu.
Biasanya setelah sholat Isya, anak-anak akan bercengkerama dengan si ayah. Mereka bermain apa saja. Kebetulan si ayah bukan tipe jaim dengan anak. Di ajak main boneka, hayuuk. Di ajak main congklak, oke. Di ajak main ular tangga, no problem. Sehingga mereka sangat dekat dengan ayahnya.
Karena kesibukan mendampingi tamu, membuat si ayah selalu pulang setelah anak-anak tidur. Sehingga rindulah anak-anak dengan beliau.
Hari Sabtu pagi anak-anak sangat gembira berharap bisa bermain dengan sang ayah. Ternyata sabtu pagi si ayah tetap harus masuk untuk mendampingi tamu tersebut.
Ketika sore ayah pulang, anak-anak sudah bersorak. Tapi si ayah hanya pulang untuk mandi dan berangkat kembali menemani si tamu bermalam minggu keliling Karawang.
Si bujang kami yang ketika itu masih TK, langsung menangis sambil berteriak, tak ingin ayahnya pergi. Anak-anak perempuan kami juga ikut menangis. Saya pun merasa tak ridho dia pergi.
Melihat kondisi anak-anak, si ayah sebenarnya tak ingin pergi, tapi tak enak dengan si tamu dan teman-teman lain yang ikut mendampingi. Tapi dengan berat hati, dia tetap pergi.
Setelah ayahnya pergi, mereka bertiga menangis di ruang tengah. Agak susah saya menghibur mereka.
Tapi tak lama berselang, setengah jam kemudian, si ayah pulang.
Si ayah bercerita. Sebelum berkeliling kota Karawang, mereka hendak makan dulu di sebuah Mall di daerah Galuh Mas. Semua dinding dan pintu masuk Mall itu terbuat dari kaca. Entah kenapa, dinding kaca seluas itu tidak terlihat olehnya. Tiba-tiba dia menabrak dinding kaca itu. Menimbulkan suara yang lumayan keras. Semua pengunjung yang berada di situ melihat kepadanya. Sakitnya tidak seberapa. Tapi malunya yang luar biasa.
Kebiasaan baik si ayah, setiap mengalami peristiwa tak enak, dia langsung bermuhasabah diri. Kesalahan apa yang ia telah lakukan hari itu atau beberapa hari sebelumnya. Dan langsung teringat olehnya, bahwa saya dan anak-anak tak ridho ia pergi malam itu.
Akhirnya dia langsung minta ijin ke si tamu dan teman-teman lainnya untuk pulang.
Alhamdulillaah...malam itu waktunya menjadi milik kami kembali. Dan kamipun bercengkrama dengan bahagia.
Lain pula dengan temanku.
Suaminya punya hobi baru. Bergabung dengan sebuah klub motor dan sering melakukan touring ke luar kota.
Lama-lama temanku kesal dengan hobi baru suaminya. Di samping memakan biaya yang lumayan banyak, waktu untuk anak dan istri jadi sangat berkurang, setiap ada waktu libur, dia lebih sering menghabiskan waktu dengan klub motornya ketimbang bercengkrama dengan anak istrinya.
Suatu hari ketika sang suami minta ijin lagi pergi touring ke Pangandaran. Dia tak mengijinkan. Tapi suaminya tak mengubris.
Akhirnya, karena marah, temanku ini bilang, "Gua gak ridho. Mudah-mudahan ntar lu kecelakaan". (Temanku ini orang betawi ya pren.... Jadi bahasa "lu gua" memang bahasa keseharian mereka).
Dan satu setengah jam kemudian, dia dapat telepon dari teman touring suaminya, bahwa suaminya mengalami kecelakaan tunggal. Jari kelingking kaki kirinya patah.
Dan kalimat pertama yang dia ucapkan, "syukurin... ".
Ada lagi kisah temanku yang lain. Sudah beberapa lama ini, suaminya sering diundang menjadi pembicara seminar. Karena ilmu yg ia dapatkan dari kantornya bermanfaat buat orang lain.
Ketika itu tahun 2002. Mulai dari feenya 250 ribu per seminar, meningkat dengan pesat menjadi 1,5 juta per seminar.
Biasanya setiap selesai seminar, suaminya selalu mentraktir keluarga kecilnya (istri dan satu orang anak) makan di restoran yang terjangkau.
Tapi ketika pertama kali mendapatkan fee 1,5 juta rupiah, suami ingin mentraktir teman kantor yang satu bagian dengannya, yang berjumlah 10. Mentraktir keluarganya setelah itu.
Tiba-tiba, sang istri cemburu. Ya kalau uangnya masih bersisa, kalau tidak? Teman kantor yang hendak ditraktir ada 11 orang termasuk dengan sang suami. Kenapa bukan ia dan anak mereka yang didahulukan? Toh, makan bertiga tidak akan habis banyak.
Maka sang istri menolak. Dia minta didahulukan dibanding teman suami. Tapi suaminya menolak. Suaminya berpikiran, kalaupun uangnya habis, toh dengan keluarga masih bisa lain waktu.
Dan ributlah mereka. Akhirnya sang suami tetap menjalankan rencananya. Mentraktir temannya. Dan habislah uang itu tanpa bisa mentraktir keluarga sendiri.
Dan apa yg terjadi selanjutnya sodara-sodara?
Tiba-tiba setelah itu, tak pernah ada lagi undangan mengisi seminar untuk sang suami. Tak ada sama sekali!
Akhirnya, sang suamipun menyadari kesalahannya (mungkin sambil minta ampun sama Allah).
Dan sekitar 6 tahun kemudian baru ada lagi undangan mengisi seminar untuknya. Tapi demi menjaga keikhlasan dan atas persetujuan sang istri, uang dari seminar itu tak pernah mereka ambil. Semuanya disedekahkan tanpa pernah menghitung jumlah uang di dalam amplop tebal itu. Toh...gaji sang suami, alhamdulillah, sudah mencukupi kebutuhan mereka sekeluarga.
Nah, dari tiga cerita di atas, (fakta lho ya...bukan hoax) mungkin bisa kita ambil hikmahnya. Ternyata ridho istri sangat diperlukan oleh suami.
Ridho istri = ridho Allah?
Wallahu a'lam bish-showab.


Catatan.

Tulisan ini diunggah di grup Komunitas Bisa Menulis pada tanggal 26 Februari 2020.
Dan direspon oleh lebih dari 4.000 orang, dikomentari oleh 1000 orang dan dibagikan oleh lebih dari 1.400 orang

Intoleransi Protein




Tahun 2004, saya melahirkan anak ketiga berjenis kelamin laki-laki. Dia adalah satu-satunya anak laki-laki dari empat anakku. Dia memiliki 2 kakak perempuan dan satu adik perempuan.
Dia lahir dengan berat 3150 gr dan panjang 46 cm. Karena ASIku banyak, maka ia bisa kuberi ASI ekslusif. Pertumbuhannya bagus. Badannya montok dan lincah. Berkulit putih, berbibir merah serta gampang tertawa. Sehingga sangat menggemaskan siapapun yang melihatnya.
Ketika usia 6 bulan, ia mulai kuberi MPASI. Dan tambahan sufor. Makannya sangat lahap. Apapun menu bubur yang kuberi yang kubuat sendiri dari bahan alami dan segar, selalu tandas tak bersisa. ASI doyan, suforpun doyan.
Harusnya badannya makin berisi. Tapi kenyataannya badannya makin kurus. Beda sekali ketika dia masih ASI eksklusif.
Ayahnya merasa, anaknya makin kurus karena ia sangat lincah dan aktif. Usia 10 bulan sudah bisa jalan. Dan usia 11 bulan sudah bisa berlari. Perlu energi ekstra untuk menjaganya.
Tapi sebagai ibu, saya merasa ada sesuatu yang salah. Saya perhatikan setelah mendapatkan MPASI dan sufor, BABnya sangat sering dan banyak. Sehari bisa 3-5 kali. Teksturnya pun agak keras. Aneh aja anak sekecil itu BAB nya sering dan banyak. Tapi kalau dilihat fisik seakan tak masalah. Dan tak ada keluhan ketika BAB.
Puncaknya ketika ia berumur 11 bulan. Badannya sangat kurus. Seperti anak yang kurang gizi. Berbanding terbalik dengan makannya yang banyak dan menyusu yang kuat.
Akhirnya saya coba bawa dia ke dokter spesial anak. Setelah diperiksa dan cek feces ke labor, diagnosa dokter ada bakteri di ususnya. Sehingga ia diberi antibiotik. Tapi selama meminum antibiotik, sama sekali tak ada perubahan di dalam frekuensi dan tekstur BABnya. Kemudian dokter kembali memberikan obat. Tapi tetap tak ada perubahan.
Akhirnya saya pindah ke dokter spesialis anak yang kedua. Ternyata setelah diperiksa dan cek feces ke labor, diagnosanya sama. Setelah diberi obat tetap tak ada perubahan.
Saya pun pindah ke dokter ke 3 dan ke 4. Semua diagnosanya sama. Minum antibiotik sudah sangat banyak dan bermacam-macam. Tetapi tetap tak ada perubahan pada anak saya.
Diantara perasaan yang amat galau, saya bawa anak saya ke dokter spesialis anak yang kelima. Beliau khusuk mendengarkan cerita saya yang sudah berganti dokter hingga empat kali namun tak ada perubahan. Akhirnya beliau tidak memeriksa anak saya tapi memberi rujukan ke klinik gastrologi di RSCM. Karena menurut beliau mungkin ada masalah di pencernaan.
Maka kamipun membawa si nak bujang kami ke RSCM. Di klinik Gastrologi ini sungguh menciutkan hati karena yang hadir di sini adalah pasien rujukan dari seluruh Indonesia dengan kasus-kasus yang berat. Mereka datang dari pelosok-pelosok Indonesia ke Jakarta dengan biaya minim. Sungguh menyentil perasaan.
Akhirnya tiba giliran anakku diperiksa. Seorang profesor dan 4 orang dokter muda turun untuk menangani kasusnya. Tapi tak seperti dokter umumnya, ambil stetoskop, periksa fisik, langsung suruh cek lab atau langsung meresepkan obat, dokter di sini mengelilingiku hanya untuk bertanya. Bertanya riwayat kelahirannya, bertanya riwayat kesehatan saya sedari kecil dan juga bertanya riwayat kesehatan ayahnya sedari kecil. Jadi berjam-jam waktu hanya digunakan untuk bertanya. Luar biasa. Usaha yang teliti untuk menegakkan diagnosa.
Kemudian mereka memintaku untuk membawa feces pertama di pagi hari. Feces itu sudah harus sampai di RSCM dalam waktu kurang dari 4 jam setelah BAB. Karena kalau lewat dari 4 jam, di feces itu akan tumbuh kuman baru. Dan feces itu harus dibawa di dalam wadah dan wadah itu harus dimasukkan ke dalam termos yang diisi dengan es batu yang banyak. Untuk mencegah tercampur kuman dari udara.
Dan besoknya saya berpacu dengan waktu membawa feces itu dari Bogor menuju Jakarta dengan dua kali naik angkot, sekali naik kereta dan sekali naik bajaj. Tidak boleh lebih dari 4 jam. Benar-benar perjuangan yang membuat stres. Sepanjang jalan mendekap termos berisi feces seperti mendekap emas berlian.
Seminggu kemudian hasilnya keluar. Ternyata bakteri yang ada diperutnya adalah bakteri yang biasa ditemui di perut-perut orang lain. Tak ada yang aneh. Tak ada masalah.
Kemudian sang profesor, merujuk anakku ke klinik alergi RSCM.
Daaan...di sinilah ketahuan biang masalahnya. Setelah di tes alergi dengan 16 tusukan sampel alergi ketahuanlah ternyata dia alergi dengan protein susu sapi, protein kedelai, kuning telur dan bulu kucing.
Inilah sebab kenapa ia sering buang air besar dan dalam jumlah yang banyak. Tubuhnya tak menerima susu sapi, kedelai dan kuning telur yang setiap hari saya beri. Sehingga makanan itu semuanya tak diserap oleh tubuhnya. Jadi numpang lewat saja.
Alergi tak ada obatnya. Hanya imun tubuhnya yang bisa menyembuhkannya.
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah mengosongkan perut dari semua faktor alergen selama 2 tahun. Ia sama sekali tak boleh meminum susu sapi dan turunannya seperti keju dan yoghur. Tak boleh memakan kedelai dan turunannya, seperti tahu, tempe sampai kecap. Tak boleh memakan kuning telur dan harus dijauhkan dari kucing.
Kemudian, baru diterapkan metode provokasi eliminasi, untuk membentuk imun tubuhnya terhadap makanan itu.
Meskipun sedih, saya sangat legaaaa...sekali mengetahui sumber masalah ini.
Maka mulai hari itu kami stop memberikan sufor dari sapi. Stop memberi keju dalam campuran makanannya. Stop menambahkan tahu tempe dalam makanannya. Juga stop memberikan kuning telur.
Biasanya kalau anak alergi protein susu sapi, ia bisa diberikan susu kedelai. Tapi bagi anak kami, susu kedelaipun tak bisa diberikan karena iapun alergi protein kedelai.
Karena saat itu saya sedang hamil anak ke empat dan ia sudah saya sapih, maka dokter memberikan saran memberikan ia susu gandum. Saat itu tahun 2005. Satu-satunya perusahaan yang mengeluarkan produk susu gandum adalah dari Nutr*c*a. Dan harganya pun sangat mahal. Satu kaleng 400 gr berharga Rp 120.000,-. Satu kaleng 400 gr habis dalam 4 hari saja.
Untuk camilan kue kering, hanya cracker beras yang bisa ia makan. Karena hanya itu satu-satunya biskuit yang tidak mengandung susu sapi dan telur.
Kalau kakaknya ingin makan es krim atau cemilan lain harus sembunyi-sembunyi jangan sampai terlihat olehnya.
Alhamdulillah, begitu diet menghilangkan faktor alergen ini kami lakukan, BABnya turun drastis menjadi 1-2 kali sehari. Dan teksturnya pun menjadi lembut seperti anak normal lainnya. Tak terkatakan gembiranya hati ini.
Dan walaupun berat, diet menghilangkan faktor alergen di tubuhnya bisa kami lalui selama 2 tahun lebih. Dan di usianya yang ke 4 tahun kami mulai melakukan metoda provokasi eliminasi.
Pertama, tubuhnya diprovokasi dengan sedikit susu sapi. Kalau BABnya meningkat, langsung eliminasi. Tak boleh diberikan lagi. Tunggu sekitar 2 minggu. Kemudian provokasi kembali. Kalau BABnya normal, tingkatkan jumlahnya.
Kalau provokasi susu sapi berhasil, lanjutkan dengan kedelai. Beri tahu atau tempe dalam jumlah kecil. Kalau BABnya meningkat, eliminasi selama 2 minggu. Dan kalau BABnya normal lanjutkan provokasi dalam jumlah yang lebih banyak.
Alhamdulillah metoda provikasi eliminasi ini hanya kami lewati sekitar 6 bulan saja. Imunnya sudah terbentuk. Dan iapun bebas meminum susu sapi, makan keju dan es krim, juga bisa makan tahu, tempe sampai kecap. Lezatnya telur dadarpun bisa ia nikmati dengan aman.
Dan di usia 8 tahun, ia kembali diuji. Ada kebocoran di sekat serambi di jantungnya sebesar 10 mm. Dan dengan penuh perjuangan lagi kami menghadapinya. Hingga akhirnya lewat operasi di RS Harapan Kita, Atrium Septal Occluder terpasang di jantungnya untuk menutupi kebocoran itu.
Sekarang ia sudah berumur 16 tahun. Alhamdulillah ia seorang pemuda yang energik, santun, berprestasi di bidang akademik dan juga seorang atlet. Murah senyum dan insya Allah seorang pemuda yang sholeh. Aamiin ya rabbal'alamiin.
By. Akhmaneli
Ibu dari 4 anak

Catatan.

Tulisan ini diunggah di grup Komunitas Bisa Menulis tanggal 21 Maret 2020
dan mendapat respon lebih dari 3500 orang, dikomentari oleh 850 orang dan dibagikan oleh 348 kali

Blog Archive

Powered by Blogger.