Stop Buang Sampah Sembarangan



Hari ini tanggal 26 Agustus 2018, kami berkesempatan menonton pertandingan cabang olahraga Panahan di Asian Games 2018 di Jakarta. sebuah momen yang langka bagi kami. Karena Asian Games ini mampir ke Indonesia setelah 56 tahun berlalu. Asian Games yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia tahun 1962. Waktu itu, jelas saya belum lahir. Asian Games yang kedua yang di selenggarakan oleh Indonesia adalah tahun ini, di saat saya sudah berumur 46 tahun. Dan Asian Games yang ketiga nanti yang diselenggarakan Indonesia, hampir bisa dipastikan saya sudah meninggal. hehee...
Tidak ada masalah dengan pertandingannya. Acara berlangsung seru. Walaupun  di pertandingan yang saya saksikan, tim beregu putra dan putri Indonesia kalah dari regu India dan Korea.



Tapi yang jadi masalah adalah perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sepulang dari Gelora Bung Karno, kami mampir ke rest area km 39 buat sholat Asyar. Begitu keluar mobil, saya melihat seorang bapak membuka kaca jendela mobil dan tuing...selembar tisupun dia campakkan ke jalan.
Hati ini suka kesal kalau melihat orang buang sampah ke jalan dari jendela mobil. Beli mobil mampu, masak beli tong sampah untuk di mobil tidak mampu?
Akhirnya saya dekati mobil si bapak.
Me : Pak, jangan buang sampah ke jalan dong!
Mr.X : hallaah...cuma tisu.
Me : tetap itu sampah. Dan jalan ini bukan tempat sampah.
Mr.X : terus dibuang dimana bu?
(pertanyaan konyol kan? )

Me: buang di mobil bapak. Nanti sesampai di rumah, buang ke tong sampah di rumah bapak. Atau beli tong sampah untuk di mobil bapak.
Mr.X : iya buk....iya buk..


Tadipun di venue panahan, yang boleh jualan di area ini hanya pihak sponsor. Untuk minuman hanya ada 2 stand. Satu stand air mineral dan satu lagi stand es krim. Di depan stand air mineral, terlihat bersih dan rapi sedangkan stand es krim, subhanallah....alangkah banyaknya sampah bungkus es krim berserakan. Setelah pertandingan dimulai, pembeli mulai sepi, si penjaga stand marah-marah karena perilaku pembeli yang tak mau buang sampah ke tempatnya. Padahal jarak stand es krim dengan tong sampah hanya sekitar 3m. Dan tong sampah itu pasti mereka lewati untuk masuk ke area pertandingan.
Kalau dipikir, emang bikin jengkel prilaku sebagian (besar) masyarakat Indonesia yg masih minim kesadaran akan kebersihan lingkungan.
Mungkin ini terkait dengan pendidikan usia dini di negara ini. Dimana sebagian besar masih mementingkan membaca, menulis dan berhitung. Pembinaan akhlak hanya alakadarnya di sela-sela pelajaran utama itu.
Kebersihan hanya jadi pengetahuan bukan perilaku.
Tadi selama pertandingan, saya menyaksikan bagaimana karyawan Toyota (PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia) Karawang, memperhatikan masalah kebersihan ini. Meskipun di tribun penonton sudah disediakan 2 kantong plastik besar tempat sampah oleh panitia, para karyawan ini masih memasang beberapa tempat sampah plastik besar di beberapa tempat. Dan ketika pulang, mereka melakukan operasi bersih dengan memunguti sampah-sampah yang ditinggalkan para pengunjung (yang bukan dari Toyota). Sehingga tribun penonton saat ditinggalkan, bersih dan kinclong dari sampah. Karakter bersih sdh tertanam di sanubari mereka.
Ups....apa karena mereka perusahaan PMA Jepang ya? 
Tapi kebersihan lingkungan ini memang sangat penting. Saya tau, ada seseorang yang rumahnya sangat rapi dan bersih. Tapi ketika pergi dengan mobil bagusnya, dia masih seenaknya buka jendela dan buang sampah ke jalan. Jadi kebersihan hanya untuk dirinya dan keluarganya. Belum lingkungannya.
Ayolah....kita mulai dari diri dan keluarga kita untuk menjaga kebersihan lingkungan. Ahh...ini sebenarnya nasehat buat diri sendiri. 

Sudahkah Minum Air Nabeez Hari Ini?




Sejak dinyatakan sebagai penderita diabetes dari 2 tahun yang lalu, saya termasuk penderita yang ngeyel tak mau mengkonsumsi obat-0batan untuk pengendalikan gula dalam darah. Olahraga pun malas. Saya hanya mengatur pola makan. Nasi sepertiga dari takaran biasa, perbanyak lauk dan sayur. Serta..... minum air nabeez.
Sebenarnya mengatur pola makan saja, agak kurang efektif dalam mengontrol gula darah. Karena sering sekali tergoda ketika ada suguhan nikmat di depan mata. Apalagi gretong. Dan ketika bablas, kadar gula dalam darah dengan senang hati ikut naik mengikuti apa yang kita makan.
Tapi dari pengamatan saya dalam 6 bulan ini, air nabeez efektif mengontrol gula darah. Beberapa kali saya makannya out of control. Misal, pagi sudah sarapan. Jam 9 pagi liqo. Segelas teh manis dan kue-kue manis serta gurih meloncat mulus ke dalam perut. Siangnya ada arisan. Maksi lengkap dengan jus dan kue-kue pun mendarat cantik di lambung. Sorenya ada pengajian RT. Kue-kue lezat yang manis dan gurihpun, masuk dengan manjaah... ke dalam perut. Dan ditutup dengan makan malam. Ketika malamnya di cek, gula darah hanya naik di sekitaran 180. Gula darah normal, dengan batas atas. Sebelum mengkonsumsi nabeez, dengan memakan makanan seperti itu, maka gula saya akan bersuka cita melonjak sampai 240-280.
Tapi anehnya, kalau saya makan dalam takaran normal, sementara nabeez saya konsumsi terus menerus, gula darah saya tak pernah melorot. Bertahan di kisaran 140-an.
Seakan-akan air nabeez itu mempertahankan kadar gula dalam darah di ambang normal. Bagi saya ini amazing sekali. Mana ada obat buatan manusia seperti itu.
Dan seminggu yang lalu ketika sy cek labor ke sebuah rumah sakit, hasil pengecekan HbA1c (pengukuran rata2 kadar gula dalam darah selama 3 bulan terakhir) saya menunjukkan angka 5,8 (normal). Batas normal 6,3. Dulu, sebelum mengkonsumsi nabeez, angka HbA1c saya selalu di kisaran 8 ke atas. Dan dokterpun menyatakan saya bukan diabetes. Alhamdulillaah... Hurrayy !!!
Karena ikut senang, Sayyid berkata, "wah ibu sudah bisa makan nasi uduk 1 bungkus. Kan nggak diabetes lagi".
Oh tentu tidak, nak. Ibu harus tetap menjaga konsumsi makanan agar kadar gula darah tetap stabil.

Apa sih air nabeez itu?
Air nabeez adalah minuman kesehatan kesukaan Rasulullah. Air Nabeez adalah air rendaman (infused water) kurma / kismis (raisins). Kurma atau kismis di rendam dalam air masak semalaman (dalam wadah yang bertutup) dan diminum keesokan hari. Atau direndam pagi, diminum sore hari. Lama perendaman 10-12 jam.
Seperti yang kita ketahui, dalam kurma sendiri sudah memiliki begitu banyak kandungan gizi bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan mengatasi berbagai penyakit mulai dari yang ringan sampai berat. Dalam buah kurma terdapat nutrisi penting seperti energi, air, protein, serat, karbohidrat, gula, lemak, kolesterol, vitamin B5, vitamin B9, vitamin B6, vitamin C, vitamin E, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin K, zat besi, magnesium, kalium, fosfor, sodium dan juga seng

Khasiat air nabeez
Air nabeez adalah minuman beralkali, yang mampu menolong membuang kelebihan asam pada perut dan memulihkan sistem pencernaan tubuh. Juga membantu badan untuk menyingkirkan toksin yang berbahaya didalam tubuh, dalam kata lain berguna sebagai detox.
Air nabeez tinggi akan kadar fiber, sehingga ia mampu membantu proses pencernaan yang baik & meningkatkan / menajamkan fikiran agar kita tidak mudah lupa. Juga menyehatkan hati, jantung, prostat, Dan lain-lain.
Info lengkap manfaat nabeez, dapat dilihat di sini. 
https://manfaat.co.id/manfaat-rendaman-air-kurma/amp
Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?
Yuuk... Kita konsumsi nabeez. Supaya dapat sehatnya, dapat sunnahnya. 

Ibu Pelit…





Ibu pelit! Rasanya setiap ibu mungkin pernah mendengarnya. Di ucapkan oleh si kecil saat keinginannya tak dituruti. Aku pun tak beda. Seingatku, aku dibilang begitu oleh anak-anak sampai saat ini sudah 4 kali (jangan lagi…). Muthia sekali ketika kelas 5 SD. Sayyid sekali ketika umur 4 tahun dan Alyssa 2 kali ketika kelas 4 SD. Memang, daya pikir kanak-kanak mereka tak paham dengan maksud dan tujuan orang tuanya sehingga kalimat “Ibu pelit” terlontar dari mulut mungil mereka.

Tapi itulah yang harus ditanggung oleh ibu-ibu dalam ikhtiarnya membentuk anak agar mampu mengendalikan dirinya dari keinginan yang berlebihan. Tidak boros, gampang meminta dan tidak bisa menghargai usaha orang tua.

Kalimat ibuku tercinta yang selalu terngiang olehku, “Menjadi orang boros tak perlu belajar tapi menjadi orang hemat perlu belajar dan latihan”. Tentu belajarnya harus sedari kecil dan latihannya terus-menerus sehingga itu menjadi karakter yang tertanam di sanubari mereka.

Ada satu cerita yang sangat membekas di jiwaku. Yang akhirnya cerita itu ikut mewarnai pola asuhku terhadap anak-anak.

Dulu, saat saya mulai bekerja dan belum menikah, lingkup pergaulan menjadi berubah. Bukan lagi dengan teman sebaya seperti ketika masih sekolah atau kuliah. Tapi bergaul dengan para suami, para istri, para bujang dan gadis bahkan juga dengan duda maupun janda. Ada banyak ilmu yang bisa diserap dari mereka.

Suatu kali seorang rekan kerja yang sudah berkeluarga bercerita. Hari Minggu ia mengajak keluarganya ke mall untuk berbelanja bulanan sekalian makan-makan. Ternyata di mall sang anak (5 tahun) tergoda dengan mobil yang bisa dinaiki dengan tenaga gerak battere. Kala itu mobil-mobilan ini mulai booming. Si anak sebegitu ngototnya ingin memiliki mobil tersebut. Sehingga ia pun menangis meraung-raung sambil berguling dan sekali-sekali memaki orang tuanya. Si rekan dengan istrinya sampai kewalahan menghadapi si anak. Akhirnya dari pada malu, mobil idaman seharga hampir 600 ribu rupiah itupun di bawa pulang. Uang yang dibawa hanya 600 ribu rupiah. Setelah mobil itu dibeli, akhirnya merekapun pulang. Belanja gagal, makan-makanpun gagal.

Itu kejadian sekitar tahun 1997. Di mana harga 1 gram emas hanya Rp 20.000,-. Berarti harga mobil 600 ribu rupiah itu setara dengan harga 30 gram emas. Kalau dianalogikan dengan jaman sekarang dimana harga 1 gram emas sekitar Rp 500.000,-, maka harga mobil itu sekitar 1,5 juta rupiah. Woow….anak usia 5 tahun berhasil ‘menekan’ orang tuanya untuk membelikannya mainan seharga 1,5 juta rupiah, hanya dengan senjata tangisan dan berguling di lantai serta sesekali memaki dengan kata-kata kasar.

Dari situ saya mulai mereka-reka pola pendidikan seperti apa yang akan saya terapkan kalau kelak Allah memberikanku amanah anak. Saya tak ingin ‘kalah’ oleh keinginan anak. Tapi saya juga tak ingin memberangus keinginan mereka.

Akhirnya, ketika Muthia berumur 2 tahun (tahun 2002) saya mulai menerapkan 3 tipe berbelanja, supaya ia belajar menahan diri, tidak kalap dan bisa mengerti keadaan orang tua. Meskipun sebenarnya kami mampu memenuhi permintaannya saat itu. 

Tiga tipe itu yaitu:
1. Harganya murah, ayo kita beli.
2. Harganya agak mahal, tunggu ayah gajian ya?
3. Harganya sangat mahal, kita nabung ya?


Dengan kesepakatan, barang di anggap murah kalau Rp 10.000,- ke bawah. Barang dengan range harga Rp 10.000 – Rp 50.000 itu agak mahal. Di atas Rp 50.000 itu mahal. 
Jadi kalau kami jalan-jalan ke mall atau ke mana saja, ketika Muthia meminta sesuatu yang bukan makanan, saya selalu menerapkan 3 hal itu. Dan yang terpenting, jangan berbohong dengan anak. Kalau barang yang ia minta tipe kedua, maka setelah ayahnya gajian segera penuhi, meskipun ia lupa.

“Muthi, ayah sudah gajian. Muthi kan kemarin ingin mainan ‘X’. Ayo kita beli.” Matanya langsung berbinar-binar mengalahkan binar bintang kejora. Semangatnya langsung menggebu-gebu. Walaupun ia belum fasih mengungkapkan isi hatinya, tapi gestur tubuhnya sudah menunjukkan bahwa ia sangat berterima kasih karena kita mengingatnya dan menghargai keinginannya.

Begitu juga kalau mainan yang ia minta mahal. Setelah celengan imutnya penuh dan dibongkar, ia sangat gembira melihat banyaknya uang (receh) yang terkumpul. Meskipun uangnya jauh panggang dari api dari harga mainan tersebut, biasanya saya dan ayahnya akan bersorak, “Wah…uangnya banyak sekali. Ini cukup buat beli mainan itu. Yuuk…besok kita beli.” Dan ia akan sangat puas sekali dengan mainan hasil jerih payahnya menabung.

Tapi pendidikan memang tak pernah selalu mudah. Kalau pada Muthia saya merasa sangat mudah menerapkannya tapi tak begitu dengan Sayyid. Dengan si bujang satu ini ada sedikit riak.

Ketika ia berumur 4 tahun, di kantor ayahnya ada bazar menyambut Idul Fitri. Maka pergilah saya dengan si nak bujang ini ke bazar tersebut. Ternyata yang jual mainan sangat banyak. Di bazar ini diterapkan pola potong gaji dan bisa dicicil selama 10 bulan. Dan tanpa bunga. Sebuah kemudahan yang bisa membuat sebagian karyawan dan keluarganya ‘kalap’ berbelanja.

Kemudian, lewatlah kami di stand mainan. Pedagangnya menawari Sayyid mobil mainan dengan remote control seharga 200.000. Biasanya kalau ia ingin suatu mainan, ia akan bertanya, “Ibu, ini mahal tidak?” Maka saya akan memberitahu harga barang itu dan masuk tipe mana. Dan BIASAnya ia akan bersabar kalau barang itu masuk tipe agak mahal atau sangat mahal.

Tapi kali ini, para pedagang stand bazar itu kompak memberi racun. Mereka saling dukung dan bersahut-sahutan, “Ayo bu, murah bu. Kalau potong gaji bisa 10 kali bayar. Hanya 20.000 se-bulan. Murah bu.”, “Ayo bu, sayang anak, bu”, “Bu, kasian. Anaknya ingin tuh…”, “Jangan pelit bu. Kasian anaknya. Murah bu, bisa potong gaji.”

Merasa mendapat ”angin”, mulailah Sayyid merengek dan menangis. Saya masih berusaha memberi pengertian bahwa itu harganya mahal dan ia harus menabung. Tapi para pedagang itu ramai-ramai mengipasi Sayyid. Akhirnya terjadilah kejadian itu. Sayyidpun pun langsung berguling-guling di lantai meminta mobil tersebut. Keluarlah kalimat “Ibu pelit!”.

Dan para pedagang itu, bukannya merasa bersalah telah menyebabkan seorang anak tantrum, malah makin ribut bersuara, “Jangan pelit bu. Kasian anaknya. Udah nangis tuh… Sayang anak. Bisa di cicil, kok.”

Ingin rasanya membentak para pedagang itu supaya tidak meracuni. Tapi saya sadar kalau mereka juga dalam usaha mencari nafkah. Walau caranya sangat tidak etis karena memanfaatkan emosi anak.
Sebenarnya saya malu dengan aksi nangis sambil berguling-gulingnya. Tapi kalau saat ini saya kalah dengan rasa malu dan tantrum Sayyid, maka untuk selanjutnya saya akan kalah terus. Karena di lain waktu ia tentu akan menaikkan level tantrumnya untuk ‘menguasai’ ibunya agar memenuhi keinginannya. Akhirnya saya tahankan rasa malu ini. Dan juga rasa marah kepada para pedagang itu. Dan berlagak cuek serta “cool”.

Jadi semakin gigih pedagang itu merayu, semakin keras tangis Sayyid, semakin kuat pula saya bertahan. Bagi saya ini masalah pengendalian diri. Bagi saya untuk tak marah (karena Sayyid masih kecil) dan juga agar tak mudah luluh oleh “triknya”. Dan juga bagi Sayyid agar ia bisa menahan diri atas keinginannya dan juga untuk tak memaksakan kehendak. Pendidikan pengendalian diri yang akan berguna di masa yang akan datang. Akhirnya setelah mulai lelah, tapi tak ada tanda-tanda ibu akan luluh, tangisannya pun melemah. Ketika sudah tinggal sesegukan, Sayyid pun saya peluk. “Sayyid haus?” ia mengangguk. “Kita beli es krim yuk?” ia pun mengangguk. Dan, sebuah pelukan serta setangkup es krim lezat mampu mencairkan amarahnya. Dan pasrah digendong ke mobil. Pulang.

Alhamdulillah, hanya sekali itu saya mengalami kejadian anak tantrum dalam usahanya meminta sesuatu. Tapi kalimat pelit masih berlanjut oleh anak yang lain.

Kalimat pelit kedua adalah dari Muthia saat ia kelas 5 SD. Ketika itu ia pulang sambil merajuk. Dia bercerita tentang teman-temannya yang selalu membahas tentang sinetron yang lagi populer di televisi saat istirahat tiba.

“Ibu pelit. Nggak pernah ngijinin Muthi nonton sinetron. Jadi kalau jam istirahat, cuma Muthi doang yang diam karena nggak pernah nonton.”

Tentu itu kalimat hiperbola. Mana mungkin dari sekitar dua puluh limaan anak hanya dia sendiri yang tak menonton tv. Sementara saya tau ada beberapa orangtua yang juga tak menghidupkan tv mereka.

“Hhmmm, coba Muthi ingat, kalau ada film anak-anak yang bagus, bukankah kita bisa ke Jakarta, ke Tangerang, ke Bekasi atau ke Cikarang buat nontonnya, kan?"

Ketika itu di Karawang belum ada bioskop selevel 21 atau XXI. Hanya ada 1 bioskop biasa yang jarang sekali menampilkan film-film bagus buat anak-anak. Jadi kalau ada film anak-anak yang bagus baik film Indonesia maupun film luar, kami selalu berusaha membawa anak-anak untuk menontonnya walau harus ke luar Karawang. Pulang dari menonton, biasanya film itu jadi bahan diskusi kami.

“Menonton film ke bioskop itu ada biayanya lho. Sedangkan nonton sinetron tidak ada biayanya. Sinetron itu kebanyakan bukan untuk usia Muthi. Sedangkan film anak-anak jelas buat usia Muthi. Jadi siapa yang pelit? Dan siapa yang baik?”
Dia diam. Dan perlahan wajah manyunnya hilang berganti dengan wajah yang mengerti.

Mengenai menonton film di bioskop Karawang ini, kami pernah punya pengalaman mengecewakan. Ketika itu, kalau tidak salah Muthi kelas 5 SD. Di layar bioskop terpampang spanduk film anak-anak yang berjudul “Ketika Liburan Tiba”. Sebuah film anak-anak besutan Ari Sihasale dan istrinya, Nia Zulkarnain. Ketika itu bulan Ramadhan.

Di hari Sabtu, dengan niat ingin menyenangkan anak-anak, saya pun mengajak mereka menonton di sore harinya sambil menunggu waktu berbuka. Setelah itu kami akan berbuka di sebuah restoran (rencanaa…). Muthi pun sangat bersemangat. Bahkan ia mengajak satu orang sahabatnya. 

Dari jam 2 siang, kami sudah stand by menunggu di bioskop. Perlahan-lahan bioskop mulai ramai. Banyak anak-anak juga. Kami tambah semangat. Jam 3 lewat 15 menit, loketpun di buka. Ada 2 buah loket yang di buka hari itu. Loket 1 untuk film Ketika Liburan Tiba, loket 2 untuk film Mendadak Jadi Pocong. Ternyata, antrian loket 1 hanya saya dan anak-anak. 5 orang saja! Sedangkan loket 2 antriannya mengular. Saya tak percaya, tapi nyata (aduh…kayak lagu). Tak percaya bahwa anak-anak itu bahkan banyak juga yang usia balita, di bawa orang tuanya untuk menonton film komedi berbalut horor yang jelas-jelas bukan untuk usia mereka.

“Hellooww….Bu, Pak, film untuk anak-anak ada di loket 1”, teriakku dalam hati. Menangis.
Klimaksnya, si petugas loket dengan santainya berkata, “Filmnya gak jadi tayang bu, karena penontonnya cuma ibu dan anak-anak ibu saja.”

Oh….sempurna kecewanya. Terutama anak-anak. Wajah mereka yang ceria sejak dari rumah langsung berselaput duka.

Saya tidak tau, mana yang lebih dalam rasa kecewa saya hari itu. Melihat anak-anak bersedih karena tidak jadi menonton film atau melihat fenomena orang tua yang tidak punya filter sama sekali untuk anaknya.

Yup…kembali ke laptop.
Kata pelit yang ketiga dan ke empat berasal dari si bungsu, Alyssa. Penyebabnya jatah uang jajannya untuk hari itu sudah habis. Tapi ia masih nekad minta lagi. ”Maaf, nak. Tak ada lagi”. Akhirnya iapun ngeloyor pergi main bersama temannya sambil berkata, “Ibu pelit ahh”. 

Semakin besar, mereka semakin paham maksud dan tujuan kami untuk melatihnya menahan diri dari keinginan yang berlebihan. Walaupun sekali-sekali saya lost controlled juga. Tapi alhamdulillah si ayah selalu jadi remnya.

Ketika kelas 6 SD, saya mulai melatih mereka untuk mengatur keuangan sendiri dengan memberi uang jajan mingguan. Uang jajan harus ada sisa. Untuk ditabungin dan disedekahkan walaupun sedikit. Kalau mereka berhasil selama 6 bulan, maka berikutnya akan diberi uang jajan bulanan berikut bonus.

Alhamdulillaah, mereka tak sulit mengaturnya. Selalu ada sisa. Sehingga mereka memiliki rekening sendiri di bank dan memiliki ATM masing-masing. Dan alhamdulillah lagi, mereka memiliki kepedulian yang lumayan bagus.

Pernah suatu ketika saya berkata, “aduuh…ibu lagi nggak punya uang nih”. Serentak mereka menawarkan uangnya masing-masing. Boleh diambil tanpa perlu diganti. Mantap kan?

Pun, ketika diajak berdonasi saat ada musibah, mereka gampang mengeluarkannya.

Begitu juga saat mereka butuh sesuatu seperti tas, sepatu atau lainnya, mereka tak mau memakai uang saya. Mereka lebih senang memakai uangnya masing-masing.

Pernah ketika sepulang lebaran tahun lalu, saya sibuk menuliskan pengalaman perjalanan mudik itu. Tiba-tiba keyboard rusak. Karena lagi malas keluar untuk membeli keyboard baru, maka saya diamkan saja sampai 2 hari. Ternyata, si nak bujang yang saat itu duduk di kelas 8 SMP ini, sangat jeli. Dia memperhatikan saya tidak menulis sudah 2 hari. Dan di hari ke empat, tiba-tiba,”

“Ibuu….ini hadiah spesial untuk ibu”, katanya dengan wajah sumringah memberiku sebuah bingkisan.

Begitu dibuka, ternyata isinya keyboard baru! Dia diam-diam membelinya secara online ke sebuah olshop. Dan diam-diam pula membayarnya ke Indomart terdekat. So sweet...


Alhamdulillaah…inilah hikmah untuk si “Ibu pelit” ini.


Karawang, 14 Agustus 2018

Pemimpin Dalam Perjalanan




Salah satu hadits Rasulullah yang agak kurang populer di telinga kita adalah:

"Apabila ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin!" (HR. Abu Daud: 2241)

Meskipun hadits ini jarang terdengar, tapi hadist ini sangatlah penting sebagai rujukan umat muslim. Bahwa dalam suatu perjalanan, penting bagi kita menunjuk seorang pemimpin sehingga tujuan perjalanan menjadi lebih terarah, lebih tertib karena satu komando dan ada yang bertanggung jawab ketika terjadi sesuatu.

Saya pertama kali mendengar hadits ini ketika si ayah ditunjuk oleh Karom kami Pak Ustad Yono,  menjadi pemimpin perjalanan untuk mengantarkan jamaah yang punya udzur seperti sakit, tua dan wanita haidh kembali ke Mekah dari Mina, sewaktu berhaji tahun 2015 yang lalu. Mereka yang udzur ini mengambil Nafar Awal. Sementara yang kuat dan tak punya udzur, mengambil Nafar Tsani.

Setelah hampir 3 tahun berlalu, kami baru ingat kembali akan hadits ini. Kami berniat mendelegasikan pemimpin perjalanan kepada anak-anak sebagai latihan kepemimpinan bagi mereka. Dengan ditunjuk sebagai pemimpin mereka akan belajar mengambil keputusan, memecahkan masalah, displin dan bertanggung jawab.

Bismillaah, pada perjalanan mudik lebaran kali ini ke Padang, kami mulai mendelegasikan "pemimpin perjalanan" dari ayah/ibu kepada anak kami tertua, Annisa Muthia yang saat ini sudah SMA kelas 12.

Ketika ditunjuk sebagai leader ia langsung menerima walau agak takut kalau salah. Biasanya ia hanya mengurus diri sendiri sekarang harus mengurus seluruh anggota keluarga. Tapi kami yakinkan bahwa ia mampu dan kami pasti membantu. Dan ia pun mulai mendata apa saja yang harus dipersiapkan, dan apa saja yang menjadi tugas serta tanggungjawabnya. Semuanya ia catat di hp. Maklum, generasi milenial. Dan memang sekarang serba internet. Tiket maupun boarding pass sudah paperless. Semua tersimpan di hp.



Alhamdulillaah. Ia melaksanakannya dengan luar biasa, menurutku. Mulai dari mempersiapkan barang, mengecek, memastikan semuanya sudah masuk koper dan terangkut ke mobil, ia lakukan. Sesampai di bandara, mulai dari proses memasukkan barang ke bagasi, setiap pemeriksaan tiket maupun boarding pas, ia yang maju. Kapan kita memasukkan barang ke bagasi, kapan kita makan dan kapan kita sholat dan lain-lain, semua dia yang komando. Saya hanya mengawasi. Dan adik-adiknya siap sedia membantu. Oh ya, si ayah tidak ikut bersama kami. Karena masih ada tugas, si ayah menyusul mudiknya.



Dengan menjadi pemimpin, dia benar-benar belajar untuk mengambil keputusan. Salah satunya ketika kami telah memasukkan barang ke bagasi, waktu tersisa sekitar satu jam lagi menjelang take off. Kami belum sholat, sementara adik-adiknya sudah lapar. Ia kemudian memutuskan kami sholat dahulu, baru makan. Pertimbangannya, kalau sholat dulu baru makan, saat panggilan masuk pesawat datang, makan bisa dihentikan. Tapi kalau makan dulu baru sholat, terus datang panggilan masuk pesawat, masak sholat dihentikan? Ia sudah bisa mempertimbangan resiko. Dan kamipun mematuhi perintahnya.

Alhamdulillaah… biasanya saya atau ayahnya yang harus 'teriak-teriak' memberi komando, melakukan semua pemeriksaan maupun pengecekan dan lain-lain, sekarang saya bisa duduk manis sambil hunting foto. Nikmatnyaaa...


Sebenarnya melihat Muthi mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, kami memang tidak heran. Dengan pengalamannya pernah dua kali menjadi duta negara dalam pertukaran pelajar, ke Thailand dan Singapura, dia memang sudah mampu berdisplin dan mengurus dirinya sendiri. Apalagi semenjak dia bersekolah di SMA Boarding School Assyifa, membuat kemandirian, kerapian dan efisiensinya bertambah baik.

Insya Allah kepulangan kami nanti, pemimpin kami adalah Sayyid. Kita akan lihat gaya kepemimpinan Sayyid yang cuek versus muthi si perfeksionis.
*****

Setelah dua minggu liburan di kampung halaman, saatnya kembali ke dunia nyata. Ups...kota domisili maksudnya. Tempat mencari nafkah dan mencari ilmu.

Kepulangan kami kali ini, sesuai kesepakatan, leadernya adalah Sayyid. Dari biasanya santai dan mengikuti instruksi, sekarang harus memberikan instruksi. Dari biasanya tak mau tahu dengan segala tetek bengek, sekarang semua harus di bawah pengawasan dan tanggung jawabnya.



Dan hasilnya pun luar biasa menurutku. Meskipun harus diingatkan beberapa kali akan tugasnya, akhirnya ia mampu menyelesaikannya dengan baik sampai kami tiba di rumah. Bahkan ia mampu memberikan empati kepada adiknya demi kelancaran perjalanan. Ketika pagi adiknya ngadat tidak mau makan karena perutnya agak bermasalah, sementara deadline keberangkatan ke bandara tak lama lagi, dengan cekatan ia membuatkan adiknya segelas susu hangat. Oh...good leader.  Ia sudah belajar disiplin waktu.



Dan kamipun berusaha mematuhi semua yang menjadi keputusannya. Termasuk di restoran mana kami akan makan siang sesampai di Bandara Soekarno Hatta. Maklum 5 kepala, 5 keinginan. Tapi kalau pemimpin sudah memutuskan, anggota harus belajar menerima dengan ikhlas.

Mengamati si bujang kami yang cuek ini, yang biasanya tidak mau repot, lebih senang diurusin dari pada mengurusin, lebih senang melemparkan tugas “Uni aja deh. Alyssa aja deh”, sekarang dia mau berepot-repot mengurus segala hal, mampu menunjukkan empati, bisa membuat keputusan, berdisiplin waktu dan menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugasnya, bagiku itu sudah merupakan lompatan yang jauh.



Atas usahanya, Allahpun memberikan 'hadiah'. Ia dapat kesempatan berfoto dengan kapten pilot dan co pilot di ruang cockpit pesawat.

Pada perjalanan ke Padang kami menumpang maskapai Garuda Indonesia Airlines. Karena ada siswa penerbangan yang sedang magang di ruang cockpit maka ia tak mendapat kesempatan berfoto dengan pilot dan co pilot di ruang cockpit

Tapi pada penerbangan balik ke Jakarta kami penumpang maskapai Lion Air. Untuk pertama kalinya ia naik pesawat besar berbadan lebar, Airbus seri 330-300 dg lajur seat 9 (3-3-3). Sehingga ia sangat antusias untuk bisa masuk ke ruang cockpit pesawat besar ini. Dan alhamdulillaah sang pilot mau menerimanya di ruang cockpit.



Ternyata sang pilot dan co pilotnya sangat ramah. Menanyakan sekolahnya dan cita-citanya. Karena ia bercita-cita ingin jadi pilot, sang pilot dan co-pilotpun bercerita tentang sekolah pilot.

Kata pak Pilot dan pak co-pilot, kalau ingin masuk sekolah Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, harus dari jurusan IPA. Tapi kalau masuk sekolah penerbangan swasta, bisa dari jalur IPS. Terus pelajaran yang harus dikuasai (nilai harus tinggi) yaitu Matematika, bahasa Inggris dan Fisika. Tak boleh berkaca mata dan gigi harus sehat.

Hmmm....pembicaraan singkat yang mengesankan buat Sayyid. Tapi sebenarnya cita-citanya untuk menjadi pilot sudah agak goyah. Setelah seminggu yang lalu ayahnya memberitahu bahwa ada satu profesi yang cukup rumit dan menantang di bidang penerbangan yaitu sebagai Air Traffic Controller (ATC). Segera saja, antusiasmenya beralih ke sana. Dan sudah mulai mencari tahu seperti apa pekerjaan sebagai ATC tersebut.

Ahh....jadi apapun engkau kelak nak, semoga itu bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Serta tetap menjadi anak ibu dan ayah yang sholih. Aamiin.

Semoga Allah meridhoi apa yang kami lakukan. Tak hanya sekedar dalam rangka ketaatan kepada Allah dan RasulNya, tapi manfaatnya sangat besar buat anak-anak.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Powered by Blogger.