Ibu Pelit…





Ibu pelit! Rasanya setiap ibu mungkin pernah mendengarnya. Di ucapkan oleh si kecil saat keinginannya tak dituruti. Aku pun tak beda. Seingatku, aku dibilang begitu oleh anak-anak sampai saat ini sudah 4 kali (jangan lagi…). Muthia sekali ketika kelas 5 SD. Sayyid sekali ketika umur 4 tahun dan Alyssa 2 kali ketika kelas 4 SD. Memang, daya pikir kanak-kanak mereka tak paham dengan maksud dan tujuan orang tuanya sehingga kalimat “Ibu pelit” terlontar dari mulut mungil mereka.

Tapi itulah yang harus ditanggung oleh ibu-ibu dalam ikhtiarnya membentuk anak agar mampu mengendalikan dirinya dari keinginan yang berlebihan. Tidak boros, gampang meminta dan tidak bisa menghargai usaha orang tua.

Kalimat ibuku tercinta yang selalu terngiang olehku, “Menjadi orang boros tak perlu belajar tapi menjadi orang hemat perlu belajar dan latihan”. Tentu belajarnya harus sedari kecil dan latihannya terus-menerus sehingga itu menjadi karakter yang tertanam di sanubari mereka.

Ada satu cerita yang sangat membekas di jiwaku. Yang akhirnya cerita itu ikut mewarnai pola asuhku terhadap anak-anak.

Dulu, saat saya mulai bekerja dan belum menikah, lingkup pergaulan menjadi berubah. Bukan lagi dengan teman sebaya seperti ketika masih sekolah atau kuliah. Tapi bergaul dengan para suami, para istri, para bujang dan gadis bahkan juga dengan duda maupun janda. Ada banyak ilmu yang bisa diserap dari mereka.

Suatu kali seorang rekan kerja yang sudah berkeluarga bercerita. Hari Minggu ia mengajak keluarganya ke mall untuk berbelanja bulanan sekalian makan-makan. Ternyata di mall sang anak (5 tahun) tergoda dengan mobil yang bisa dinaiki dengan tenaga gerak battere. Kala itu mobil-mobilan ini mulai booming. Si anak sebegitu ngototnya ingin memiliki mobil tersebut. Sehingga ia pun menangis meraung-raung sambil berguling dan sekali-sekali memaki orang tuanya. Si rekan dengan istrinya sampai kewalahan menghadapi si anak. Akhirnya dari pada malu, mobil idaman seharga hampir 600 ribu rupiah itupun di bawa pulang. Uang yang dibawa hanya 600 ribu rupiah. Setelah mobil itu dibeli, akhirnya merekapun pulang. Belanja gagal, makan-makanpun gagal.

Itu kejadian sekitar tahun 1997. Di mana harga 1 gram emas hanya Rp 20.000,-. Berarti harga mobil 600 ribu rupiah itu setara dengan harga 30 gram emas. Kalau dianalogikan dengan jaman sekarang dimana harga 1 gram emas sekitar Rp 500.000,-, maka harga mobil itu sekitar 1,5 juta rupiah. Woow….anak usia 5 tahun berhasil ‘menekan’ orang tuanya untuk membelikannya mainan seharga 1,5 juta rupiah, hanya dengan senjata tangisan dan berguling di lantai serta sesekali memaki dengan kata-kata kasar.

Dari situ saya mulai mereka-reka pola pendidikan seperti apa yang akan saya terapkan kalau kelak Allah memberikanku amanah anak. Saya tak ingin ‘kalah’ oleh keinginan anak. Tapi saya juga tak ingin memberangus keinginan mereka.

Akhirnya, ketika Muthia berumur 2 tahun (tahun 2002) saya mulai menerapkan 3 tipe berbelanja, supaya ia belajar menahan diri, tidak kalap dan bisa mengerti keadaan orang tua. Meskipun sebenarnya kami mampu memenuhi permintaannya saat itu. 

Tiga tipe itu yaitu:
1. Harganya murah, ayo kita beli.
2. Harganya agak mahal, tunggu ayah gajian ya?
3. Harganya sangat mahal, kita nabung ya?


Dengan kesepakatan, barang di anggap murah kalau Rp 10.000,- ke bawah. Barang dengan range harga Rp 10.000 – Rp 50.000 itu agak mahal. Di atas Rp 50.000 itu mahal. 
Jadi kalau kami jalan-jalan ke mall atau ke mana saja, ketika Muthia meminta sesuatu yang bukan makanan, saya selalu menerapkan 3 hal itu. Dan yang terpenting, jangan berbohong dengan anak. Kalau barang yang ia minta tipe kedua, maka setelah ayahnya gajian segera penuhi, meskipun ia lupa.

“Muthi, ayah sudah gajian. Muthi kan kemarin ingin mainan ‘X’. Ayo kita beli.” Matanya langsung berbinar-binar mengalahkan binar bintang kejora. Semangatnya langsung menggebu-gebu. Walaupun ia belum fasih mengungkapkan isi hatinya, tapi gestur tubuhnya sudah menunjukkan bahwa ia sangat berterima kasih karena kita mengingatnya dan menghargai keinginannya.

Begitu juga kalau mainan yang ia minta mahal. Setelah celengan imutnya penuh dan dibongkar, ia sangat gembira melihat banyaknya uang (receh) yang terkumpul. Meskipun uangnya jauh panggang dari api dari harga mainan tersebut, biasanya saya dan ayahnya akan bersorak, “Wah…uangnya banyak sekali. Ini cukup buat beli mainan itu. Yuuk…besok kita beli.” Dan ia akan sangat puas sekali dengan mainan hasil jerih payahnya menabung.

Tapi pendidikan memang tak pernah selalu mudah. Kalau pada Muthia saya merasa sangat mudah menerapkannya tapi tak begitu dengan Sayyid. Dengan si bujang satu ini ada sedikit riak.

Ketika ia berumur 4 tahun, di kantor ayahnya ada bazar menyambut Idul Fitri. Maka pergilah saya dengan si nak bujang ini ke bazar tersebut. Ternyata yang jual mainan sangat banyak. Di bazar ini diterapkan pola potong gaji dan bisa dicicil selama 10 bulan. Dan tanpa bunga. Sebuah kemudahan yang bisa membuat sebagian karyawan dan keluarganya ‘kalap’ berbelanja.

Kemudian, lewatlah kami di stand mainan. Pedagangnya menawari Sayyid mobil mainan dengan remote control seharga 200.000. Biasanya kalau ia ingin suatu mainan, ia akan bertanya, “Ibu, ini mahal tidak?” Maka saya akan memberitahu harga barang itu dan masuk tipe mana. Dan BIASAnya ia akan bersabar kalau barang itu masuk tipe agak mahal atau sangat mahal.

Tapi kali ini, para pedagang stand bazar itu kompak memberi racun. Mereka saling dukung dan bersahut-sahutan, “Ayo bu, murah bu. Kalau potong gaji bisa 10 kali bayar. Hanya 20.000 se-bulan. Murah bu.”, “Ayo bu, sayang anak, bu”, “Bu, kasian. Anaknya ingin tuh…”, “Jangan pelit bu. Kasian anaknya. Murah bu, bisa potong gaji.”

Merasa mendapat ”angin”, mulailah Sayyid merengek dan menangis. Saya masih berusaha memberi pengertian bahwa itu harganya mahal dan ia harus menabung. Tapi para pedagang itu ramai-ramai mengipasi Sayyid. Akhirnya terjadilah kejadian itu. Sayyidpun pun langsung berguling-guling di lantai meminta mobil tersebut. Keluarlah kalimat “Ibu pelit!”.

Dan para pedagang itu, bukannya merasa bersalah telah menyebabkan seorang anak tantrum, malah makin ribut bersuara, “Jangan pelit bu. Kasian anaknya. Udah nangis tuh… Sayang anak. Bisa di cicil, kok.”

Ingin rasanya membentak para pedagang itu supaya tidak meracuni. Tapi saya sadar kalau mereka juga dalam usaha mencari nafkah. Walau caranya sangat tidak etis karena memanfaatkan emosi anak.
Sebenarnya saya malu dengan aksi nangis sambil berguling-gulingnya. Tapi kalau saat ini saya kalah dengan rasa malu dan tantrum Sayyid, maka untuk selanjutnya saya akan kalah terus. Karena di lain waktu ia tentu akan menaikkan level tantrumnya untuk ‘menguasai’ ibunya agar memenuhi keinginannya. Akhirnya saya tahankan rasa malu ini. Dan juga rasa marah kepada para pedagang itu. Dan berlagak cuek serta “cool”.

Jadi semakin gigih pedagang itu merayu, semakin keras tangis Sayyid, semakin kuat pula saya bertahan. Bagi saya ini masalah pengendalian diri. Bagi saya untuk tak marah (karena Sayyid masih kecil) dan juga agar tak mudah luluh oleh “triknya”. Dan juga bagi Sayyid agar ia bisa menahan diri atas keinginannya dan juga untuk tak memaksakan kehendak. Pendidikan pengendalian diri yang akan berguna di masa yang akan datang. Akhirnya setelah mulai lelah, tapi tak ada tanda-tanda ibu akan luluh, tangisannya pun melemah. Ketika sudah tinggal sesegukan, Sayyid pun saya peluk. “Sayyid haus?” ia mengangguk. “Kita beli es krim yuk?” ia pun mengangguk. Dan, sebuah pelukan serta setangkup es krim lezat mampu mencairkan amarahnya. Dan pasrah digendong ke mobil. Pulang.

Alhamdulillah, hanya sekali itu saya mengalami kejadian anak tantrum dalam usahanya meminta sesuatu. Tapi kalimat pelit masih berlanjut oleh anak yang lain.

Kalimat pelit kedua adalah dari Muthia saat ia kelas 5 SD. Ketika itu ia pulang sambil merajuk. Dia bercerita tentang teman-temannya yang selalu membahas tentang sinetron yang lagi populer di televisi saat istirahat tiba.

“Ibu pelit. Nggak pernah ngijinin Muthi nonton sinetron. Jadi kalau jam istirahat, cuma Muthi doang yang diam karena nggak pernah nonton.”

Tentu itu kalimat hiperbola. Mana mungkin dari sekitar dua puluh limaan anak hanya dia sendiri yang tak menonton tv. Sementara saya tau ada beberapa orangtua yang juga tak menghidupkan tv mereka.

“Hhmmm, coba Muthi ingat, kalau ada film anak-anak yang bagus, bukankah kita bisa ke Jakarta, ke Tangerang, ke Bekasi atau ke Cikarang buat nontonnya, kan?"

Ketika itu di Karawang belum ada bioskop selevel 21 atau XXI. Hanya ada 1 bioskop biasa yang jarang sekali menampilkan film-film bagus buat anak-anak. Jadi kalau ada film anak-anak yang bagus baik film Indonesia maupun film luar, kami selalu berusaha membawa anak-anak untuk menontonnya walau harus ke luar Karawang. Pulang dari menonton, biasanya film itu jadi bahan diskusi kami.

“Menonton film ke bioskop itu ada biayanya lho. Sedangkan nonton sinetron tidak ada biayanya. Sinetron itu kebanyakan bukan untuk usia Muthi. Sedangkan film anak-anak jelas buat usia Muthi. Jadi siapa yang pelit? Dan siapa yang baik?”
Dia diam. Dan perlahan wajah manyunnya hilang berganti dengan wajah yang mengerti.

Mengenai menonton film di bioskop Karawang ini, kami pernah punya pengalaman mengecewakan. Ketika itu, kalau tidak salah Muthi kelas 5 SD. Di layar bioskop terpampang spanduk film anak-anak yang berjudul “Ketika Liburan Tiba”. Sebuah film anak-anak besutan Ari Sihasale dan istrinya, Nia Zulkarnain. Ketika itu bulan Ramadhan.

Di hari Sabtu, dengan niat ingin menyenangkan anak-anak, saya pun mengajak mereka menonton di sore harinya sambil menunggu waktu berbuka. Setelah itu kami akan berbuka di sebuah restoran (rencanaa…). Muthi pun sangat bersemangat. Bahkan ia mengajak satu orang sahabatnya. 

Dari jam 2 siang, kami sudah stand by menunggu di bioskop. Perlahan-lahan bioskop mulai ramai. Banyak anak-anak juga. Kami tambah semangat. Jam 3 lewat 15 menit, loketpun di buka. Ada 2 buah loket yang di buka hari itu. Loket 1 untuk film Ketika Liburan Tiba, loket 2 untuk film Mendadak Jadi Pocong. Ternyata, antrian loket 1 hanya saya dan anak-anak. 5 orang saja! Sedangkan loket 2 antriannya mengular. Saya tak percaya, tapi nyata (aduh…kayak lagu). Tak percaya bahwa anak-anak itu bahkan banyak juga yang usia balita, di bawa orang tuanya untuk menonton film komedi berbalut horor yang jelas-jelas bukan untuk usia mereka.

“Hellooww….Bu, Pak, film untuk anak-anak ada di loket 1”, teriakku dalam hati. Menangis.
Klimaksnya, si petugas loket dengan santainya berkata, “Filmnya gak jadi tayang bu, karena penontonnya cuma ibu dan anak-anak ibu saja.”

Oh….sempurna kecewanya. Terutama anak-anak. Wajah mereka yang ceria sejak dari rumah langsung berselaput duka.

Saya tidak tau, mana yang lebih dalam rasa kecewa saya hari itu. Melihat anak-anak bersedih karena tidak jadi menonton film atau melihat fenomena orang tua yang tidak punya filter sama sekali untuk anaknya.

Yup…kembali ke laptop.
Kata pelit yang ketiga dan ke empat berasal dari si bungsu, Alyssa. Penyebabnya jatah uang jajannya untuk hari itu sudah habis. Tapi ia masih nekad minta lagi. ”Maaf, nak. Tak ada lagi”. Akhirnya iapun ngeloyor pergi main bersama temannya sambil berkata, “Ibu pelit ahh”. 

Semakin besar, mereka semakin paham maksud dan tujuan kami untuk melatihnya menahan diri dari keinginan yang berlebihan. Walaupun sekali-sekali saya lost controlled juga. Tapi alhamdulillah si ayah selalu jadi remnya.

Ketika kelas 6 SD, saya mulai melatih mereka untuk mengatur keuangan sendiri dengan memberi uang jajan mingguan. Uang jajan harus ada sisa. Untuk ditabungin dan disedekahkan walaupun sedikit. Kalau mereka berhasil selama 6 bulan, maka berikutnya akan diberi uang jajan bulanan berikut bonus.

Alhamdulillaah, mereka tak sulit mengaturnya. Selalu ada sisa. Sehingga mereka memiliki rekening sendiri di bank dan memiliki ATM masing-masing. Dan alhamdulillah lagi, mereka memiliki kepedulian yang lumayan bagus.

Pernah suatu ketika saya berkata, “aduuh…ibu lagi nggak punya uang nih”. Serentak mereka menawarkan uangnya masing-masing. Boleh diambil tanpa perlu diganti. Mantap kan?

Pun, ketika diajak berdonasi saat ada musibah, mereka gampang mengeluarkannya.

Begitu juga saat mereka butuh sesuatu seperti tas, sepatu atau lainnya, mereka tak mau memakai uang saya. Mereka lebih senang memakai uangnya masing-masing.

Pernah ketika sepulang lebaran tahun lalu, saya sibuk menuliskan pengalaman perjalanan mudik itu. Tiba-tiba keyboard rusak. Karena lagi malas keluar untuk membeli keyboard baru, maka saya diamkan saja sampai 2 hari. Ternyata, si nak bujang yang saat itu duduk di kelas 8 SMP ini, sangat jeli. Dia memperhatikan saya tidak menulis sudah 2 hari. Dan di hari ke empat, tiba-tiba,”

“Ibuu….ini hadiah spesial untuk ibu”, katanya dengan wajah sumringah memberiku sebuah bingkisan.

Begitu dibuka, ternyata isinya keyboard baru! Dia diam-diam membelinya secara online ke sebuah olshop. Dan diam-diam pula membayarnya ke Indomart terdekat. So sweet...


Alhamdulillaah…inilah hikmah untuk si “Ibu pelit” ini.


Karawang, 14 Agustus 2018

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.