Tak ada hari Ibu untukku




Walau telah telat jauh, saya ingin menulis tentang hari ibu. Di indonesia  hari ibu memang termasuk hari yang istimewa. Diperingati dimana-mana. Di sekolah-sekolah, di kantor-kantor atau lembaga lainnya. Bahkan di medsos juga. Ketika tiba hari Ibu, di medsos bertebaran ucapan selamat hari ibu, foto ibunya masing-masing dan berbagai macam puisi tentang ibu atau tulisan tentang ibu dengan segala jasa dan perannya.

Tentu, ibu adalah sosok yang tak boleh kita lupakan. Agama kita secara khusus memberikan penghargaan kepada seorang ibu, di mana kedudukannya 3 kali lebih tinggi dari seorang ayah. Agama kita yang lurus ini mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada ayah dan ibu, dengan sebutan birrul walidain. Bahkan saking tingginya kedudukan orang tua, mereka merupakan pintu tengah surga.  Apabila mereka telah tiada, maka hilanglah kesempatan kita memasuki surga dari pintu tengah. Sebagaimana hadist Rasulullah:

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad 28276, Turmudzi 2022, Ibn Majah 3794, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Tapi di keluargaku, kami tak pernah merayakan hari ibu. Tak pernah sekalipun. Di hari ibu, rutinitas berlalu seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Tak ada ucapan untukku, kue, apa lagi kado dari anak-anak maupun suami. Atau seperti yang pernah kubaca di sebuah majalah, di hari ibu, para ibu mendapatkan ‘cuti’ alias mendapatkan jatah ‘me time’ sehari penuh. Benar-benar hari Ibu tanggal 22 Desember itu bagiku, tak berbeda dengan 364 hari lainnya dalam setahun. Kalaupun saya mendapatkan ucapan khusus selamat hari ibu dari anak-anak, itu biasanya adalah tugas sekolah anak dalam rangka menyambut hari ibu.

Apakah anak-anak tak menghargaiku? Tentu tidak! Mereka menyayangiku dan menghargaiku sebagaimana anak-anak lainnya. Kalau hari ‘baik’ mereka sangat manis dan sopan. Tapi ketika cuaca ‘mendung’ suara merekapun kadang  tinggi kepadaku. Kadang mereka ikhlas membantuku, kadang mereka juga cemberut ketika disuruh. Itulah dinamika hidup dengan mereka yang masih belajar hidup.

Apakah aku sedih ketika banyak teman mendapat ucapan atau kado dari anaknya di hari ibu yang di share di medsos. Alhamdulillah tidak. Malah saya ikut salut, anak-anaknya begitu perhatian kepada ibunya di hari itu. Sampai membelikan kado dari uang mereka sendiri. Semoga makin banyak anak-anak yang sayang ibunya sampai ibunya tua nanti. Tak hanya di hari Ibu saja. Sebagaimana mereka tahu bahwa kasih sayang ibunya kepadanya bukan hanya 1 hari saja. Tapi adalah 365 hari dalam setahun. Tentu tak layak jika sayang ibu dibalas hanya 1 hari saja di tanggal 22 Desember.

Kami memang tak pernah mengistimewakan hari Ibu. Tak pernah membicarakannya apalagi membuat seremoni tentang itu. Setiap hari adalah hari kasih sayang. Apakah anak-anak tak pernah memberiku sesuatu? Tentu pernah. Di hari ulang tahunku, misalnya. Sebagai tanda syukur, bahwa saya masih di samping mereka.

Tapi yang berkesan adalah, seringkali mereka memberiku 'kado' di saat saya butuh. Mereka tauuu… aja. Contoh:

Suatu ketika keyboard komputerku rusak. Padahal saya lagi menyelesaikan suatu tulisan. Lagi apes, saya sedang  tidak ada uang lebih. Nanggung mau gajian (Suami, maksudnya :) ). Ya sudah, saya diam saja. Bahkan kepada suami pun saya tak cerita. Ternyata si bujang mengamati. Tiga hari pasca kejadian, tiba-tiba ia dengan wajah sumringah berkata,

“Kejutan untuk Ibu.”  Senyumnya bangga sambil memberikan bingkisan untukku.

Begitu saya buka ternyata keyboard baru. Kok bisa, padahal ia tidak kemana-mana? Ternyata diam-diam ia memesan sebuah keyboard lewat online shop khusus untukku via netbooknya. Ia bayar menggunakan uang saku bulanannya. Pembayaranpun dia lakukan via Alfamart dekat rumah. Perjalanan barangnya pun dia pantau lewat internet. Dan ketika kurir datang, dia pun segera menyambutnya. Masya Allah…

Begitu juga dengan Muthi. Ketika pulang dari Singapura setelah mengikuti acara Sunburst Youth Camp, dia melihat saya tak punya HP karena HP saya rusak 2 hari sebelumnya. HP itu sebenarnya sudah di bawa ke pusat servicenya di Jakarta. Tapi karena spare part nya tidak ada di Indonesia, jadi harus menunggu kiriman dari Korea, maka butuh waktu untuk selesai. Dan Muthi pun segera memberikan dollar Singapuranya untuk membelikanku HP.

Bukan karena harganya yang jutaan yang membuat saya takjub tapi karena keikhlasannya memberikan uang yang cukup besar jumlahnya untuk saya. Karena ia sadar, saya sangat butuh HP sebagai sarana informasi, secara HP saya terdaftar di semua sekolah anak. Sehingga semua informasi yang berhubungan dengan sekolah mereka, termasuk les adik-adiknya dan urusan lainnya masuk ke HP saya. Padahal betapa gampangnya ia ‘menutup mata’, toh….tak lama lagi HP ibu selesai diperbaiki. Atau, ayah mampu kok membelikan Ibu HP baru. Tapi tidak, ia bersikeras membelikan dengan sebahagian uangnya. Uang saku selaku duta negara. Padahal dengan uang itu ia bisa membeli banyak barang yang diingankan para ABG umumnya. Tapi ternyata ibu adalah prioritas baginya. Masya Allah…

Atau Alyssa si kecil, ketika saya pulang dari suatu perjalanan, kalau ia melihat saya lelah, tanpa diminta ia membuatkanku segelas teh hangat. Kadang kaos kakiku pun dibukakannya. So sweet sekali.

Begitulah, mereka  sering memberi ketika dibutuhkan. Itulah kado cinta yang indah untukku. Hampir setiap hari bagiku adalah hari Ibu. Sehingga tanggal 22 Desember tak bermakna istimewa bagiku Dan juga kesholihan serta akhlak yang makin hari makin bagus itu adalah cinta sejati untuk ibu dan ayah.

Tapi ahh…ini mungkin sekedar alasan saja bagi saya karena nggak dapat ucapan dan kado dari anak-anak di hari Ibu.... :} Tapi sueerr… kami mungkin keluarga yang tidak terlalu romantis. Wedding anniversary saja kami jarang ingat. Selalu berlalu begitu saja. Kadang ingatnya setelah 2 atau 3 bulan kemudian. Begitu ingat, ucapan yang terlontar hanya, “Oh iya ya…” sambil kami tertawa bersama. Tak ada bunga, coklat atau canddle light dinner yang menyusul.

Tapi pernah sekali saya ingat wedding anniversary yang ke 15. Karena ingatnya agak jauh sebelum hari H, suami menghadiahi saya honeymoon ke Singapura. Sepertinya tahun ini saya harus mengingat keras wedding anniversary supaya dapat kado jalan-jalan lagi. Heheee…. :)


Ahh…Luv you my sweetheart.

Karawang, 9 januari 2018

Ayah Yang Durhaka



Salah satu moment terbaikku untuk bertukar pikiran dengan anak adalah ketika menyetir mobil ditemani si buah hati. Apalagi kalau jarak tempuh cukup panjang. Akan banyak cerita, keinginan, impian, kekesalan dan lain-lain yang tumpah di saat itu. Karena di dalam kendaraan yang sedang melaju, si anak tidak memiliki kegiatan yang menjadi sekat antara aku dan dia. Sehingga fokus dengan pembicaraan kami.

Seperti hari Selasa kemarin, kami mengantar si uni Muthia, kembali ke pesantrennya. Sepanjang perjalanan pergi, Sayyid tidur di kursi belakang. Saya dan Muthipun terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Muthi memang pandai bercerita. Intonasi serta gesturnya membuat saya kadang terpingkal-pingkal dengan ceritanya. Kadang juga marah, kesal atau bahkan ikut sedih karena ceritanya. Bisa berbincang dengannya dalam waktu lama merupakan suatu kemewahan. Mengingat ia bersekolah di suatu boarding school. 

Nah, sepanjang perjalanan pulang, giliran si nak bujang yang menjadi temanku. Oh ya, si ayah kurang enak badan sehingga istirahat di rumah ditemani si bungsu Alyssa.

Terjadi perbincangan menarik antara saya dan Sayyid. Begini:
“Sebenarnya cita-cita Sayyid jadi apa sih?”
“Jadi Pilot. Atau kalau enggak jadi astronot. Kalau Sayyid jadi astronot, pas waktu libur, Sayyid akan main ke NASA. Sayyid mau main internet. Di sana kecepatannya super cepat. 91 Gbyte per second!”
“Kalau di rumah kita berapa kecepatannya?”
“Cuma 10 mbps. Kalau di NASA, ibu mau mendowload file sebesar 1 Terrabyte hanya butuh waktu 10 detik. Canggih kan?”
Emaknya langsung mumet. Nggak kebayang. 
“Kalau Sayyid jadi astronot, Sayyid kan tinggal di Amerika. Nanti Sayyid kirimi Ibu tiket buat nengok Sayyid.”
“Tapi nanti ibu di sana nggak punya teman. Mau bicara bingung nggak jago bahasa Inggris.”
“Ya dengan Sayyid lah.”
“Kalau Sayyid kerja?”
“Yaaa…dengan istri Sayyid.”

Tiba-tiba gong berbunyi di kepala saya. Sebuah kesempatan terbuka untuk memasukkan nilai-nilai positif. Nilai-nilai Islam yang merupakan panduan hidup.

Ya, insya Allah kelak ia akan menikah. Seperti apakah perempuan yang kelak akan mencuri hatinya dan akan menggenapkan separuh agamanya?

“Seorang ayah itu, tanggung jawabnya kan sangat besar terhadap anaknya yang sudah lahir. Memberikan makanan, pakaian, menyekolahkan, menjaga dan lain-lain. Tapi ada satu tanggung jawab ayah terhadap anaknya, jauh sebelum anaknya lahir. Sayyid tau nggak?”

“Enggak. Emang ada? Kan anaknya belum lahir?” tanyanya heran.

“Ada. Dan ini tugas yang penting. Yaitu mencarikan ibu yang sholihah. Karena ibu yang sholihah akan mendidik anaknya menjadi anak yg sholih-sholihah juga.”

“Coba, kalau si ibu bukan orang yang sholihah, akhlaknya buruk, suka berdandan terus jalan-jalan dengan siapa saja, tentu anak-anaknya jadi nggak benar?”

Ada kejadian di jaman Khalifah Umar Bin Khatab
Seorang bapak melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh anaknya. Ayah tersebut sedih memiliki anak yang durhaka.
Umar : Seperti apa kelakuan anakmu?
Bapak : Anakku berbicara kasar dan membentak. Dia pernah menendangku. Dia juga tak segan-segan memukul. Dan masih banyak perbuatan durhaka yang lain.
Umar : Baiklah, kami akan bawa anakmu ke sini.
Selang beberapa waktu, sang anak hadir dalam ‘persidangan’ tersebut.
Umar : Anak muda! Kenapa kamu berani bertindak kasar kepada Ayahmu. Apakah kamu     tidak tahu kalau Allah memerintahkan anak berbakti kepada orang tuanya.
Anak : Wahai Amirul Mukminin, jangan buru-buru menilaiku buruk. Aku akan jelaskan  kepada Anda apa yang terjadi sebenarnya.
Umar : Katakan sekarang!
Anak : Wahai Amirul Mukminin, saya tahu bahwa seorang ayah memiki hak yang haru ditunaikan anaknya. Tapi, bukankah seorang anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi ayahnya?
Umar : Benar.
Bapak : Lalu apa hak anak yang wajib ditunaikan ayahnya?
Umar : Ada tiga kewajiban. Pertama, memilihkan calon ibu yang baik, jangan sampai memilih wanita yang sifatnya tercela dan suka berbuat maksiat. Kedua, memberi nama yang indah dan baik. Ketiga, mengajarinya menghafalkan Al-Quran.
Anak : Amirul Mukminin! Demi Allah! Ayahku tidak menunaikan kewajiban tersebut satu pun!
Umar : Kenapa?
Anak : Ibu saya adalah budak hitam yang ayahku beli dengan harga hanya 2 dirham.Ketika  saya lahir, ayah menamaiku Ju’al (si hitam). Selain itu, ayahku tidak pernah mengajarkan Al-Quran kepadaku. Di sini saya ingin menjelaskan bahwa saya terlahir dari seorang budak wanita dan ayahku tidak menghendaki aku terlahir ke dunia ini. Dia tidak mau memberiku nama yang baik seperti Abdullah atau Ahmad. Juga tidak pernah mengajarkan Al- Quran.
Perkataan itu membuat Umar menyimpulkan bahwa yang durhaka sebenarnya bukan sang anak, melainkan sang ayah.
Umar : Masalah kalian ini terjadi bukan karena ulah sang anak. Yang sebenarnya salah adalah engkau, sang Ayah. Engkau tidak menunaikan hak anakmu dan mendidiknya dengan benar sejak ia lahir. Kamu juga tidak memikirkan akibatnya nanti. Inilah akibat yang harus kamu tanggung.

“Nah, itulah pentingnya mencari istri yang sholihah”.
Sayyidpun manggut-manggut. Sebagai lelaki yang baru saja baligh di kelas 2 SMP ini mungkin dia belum terlalu paham. Tapi penting untuk ia ketahui bahwa ada rule dalam Islam untuk mencari pendamping hidup. Pendamping hidup atau Istri bukanlah persoalan sesuka hati. Karena dari merekalah kelak akan terbentuk generasi Islam. Generasi berkualitas dengan keimanan yang kokoh. Dengan mencarikan ibu yang sholihah minimal ia sudah selangkah dalam menjaga keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (surah At-Tahrim (66) ayat 6).
Semoga ceritaku ini akan tertanam di alam pikiran dan hatinya dan bersama imannya kelak ia akan memilih wanita sholihah sebagai pendamping hidupnya. Aamiin…ya Rabbal’alamiin.
Kalau kelak kau sudah menemukannya, anakku, bacalah tulisan ibumu ini sebagai pengingat, betapa sayangnya ibu padamu…..

Karawang, 4 Januari 2018
Powered by Blogger.