Romantika Bertelepon



Ba'da Maghrib, saya dapat telepon dari si sulung yang bersekolah di SMAIT Assyifa Boarding School, Subang, Jawa Barat. Hari Kamis adalah jadwal menelponnya. Jadwalnya meneleponnya dimulai dari setelah sholat Dhuhur sampai jam 9 malam.
Dia bercerita, kegiatannya bertelpon ria denganku dikomentari oleh temannya. 
"Heran ya si Muthi, hal-hal remeh-temeh aja dia ceritakan sama ibunya di telepon. Kalau aku, keburu tidur umiku mendengarnya." 
"Untuuung...ibu gak begitu. Sayaaaang... deh sama ibu." lanjutnya. 😍😍😍
Saya langsung tertawa mendengar ceritanya di telepon barusan.
Memang, begitulah ia. Semua hal ia ceritakan. Dan saya selalu senang mendengarnya. Bagaimana tidak senang? Dalam seminggu kami hanya bisa bertukar cerita 1 kali. Itupun hanya sekitar 0.5 - 1 jam. Bisa mendengarkan suaranya, merasakan kegembiraannya atau kesedihannya juga kegalauannya adalah hal-hal saya rindukan dari minggu ke minggu.
Kalau dulu bisa memeluknya setiap saat, sekarang mendengarkan suaranya saja, sudah cukup sebagai pelipur lara. Bagaimana mungkin saya akan tertidur di saat dia bercerita meskipun itu cuma hal remeh-temeh yg bagi orang lain tak penting?
Sebagaimana kita yang rindu, rindu yang mereka (anak-anak pesantren) rasakan lebih berat lagi. Di saat mereka bahagia, tak ada orang tua yang langsung memeluk. Di saat sedih, tak ada orang tua yang membelai. Bahkan air mata yg mengalir pun harus disembunyikan karena tak ada ruang privacy di kamar yg diisi beberapa teman. Tak bisa bermanja, tak bisa bercengkerama, tak bisa makan masakan ibu, itu adalah siksaan rindu bagi mereka. Sebuah harga yang harus mereka tunaikan untuk ilmu dan kemandirian yang berguna bagi masa depan mereka kelak.
Makanya, saya suka sedih mendengar cerita Muthi. Tentang orang tua yang kata pembuka ketika menelepon adalah, "Bagaimana pelajarannya? Ada ulangan? Nilainya berapa?" sehingga si anak merasa nilai lebih berharga dibandingkan dirinya. Tentang orang tua yg selalu sibuk sehingga tak sempat menerima telepon atau menelepon anaknya. Sehingga anaknya perih menahan perasaan rindu dan perasaan diabaikan. Juga tentang orang tua yang tertidur ketika anaknya menelepon dan bercerita remeh-temeh. Sueeerrr....kisah 'ajaib' tentang orang tua yang tertidur ketika menerima telepon anaknya ini memang terjadi. Dan tidak sekali.😅😅😅
wahai ayah dan ibu, fokuslah pada dirinya ketika sedang menelepon. Jadikan ia yang terpenting. Pertama kali, tanyalah keadaannya. Apakah minggu ini ia sehat, apakah pertemanannya baik-baik saja? Pelajaran dan tugas mah.... terakhir. Dijamin ia akan bercerita dengan antusias. Dan jadilah pendengar yg baik. Tapi awaaas.....jangan tertidur. 😁😁😁
Walaupun saya bukanlah ibu yg sempurna, tapi saya selalu berusaha menjadi sahabatnya. Berusaha menjadi pendengar yg baik. Walau kadang suka tak tahan juga, menyelak ceritanya dg komen-komen khas emak-emak yang selalu ingin menasehati. Hubungan kami juga tak selalu mulus. Sesekali ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang juga turut mewarnai. Tapi...kata maaf dan pelukan selalu mengakhirinya. Ia tak segan meminta maaf, sayapun tak gengsi meminta maaf.
Dari dulu sampai sekarang, kalau kami pergi bersama, ia selalu menggandeng tangan saya. Dulu sempat saya merasa agak heran, biasanya para gadis ABG tak mau lagi menggandeng tangan ibunya ketika berjalan. Tapi dia sebaliknya. Dan ketika liburan kemaren ia berkata, 
"Kalau orang lain bangga menggandeng tangan pacarnya, Muthi bangga menggandeng tangan ibu". 
Hati saya pun gerimis. Semakin erat saya menggenggam tangannya. Sebelum tangan ini digantikan oleh tangan suami dan anakanaknya kelak.
Hmmm.....sudah dulu, sebelum hati yang melow ini menumpahkan air mata.

Karawang, 8 Maret 2018

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.