Temani Aku.....






Tahun ini, ketiga-tiganya anak kami akan menyelesaikan jenjang pendidikannya masing-masing. Si Sulung akan menamatkan SMAnya, Si Bujang akan menamatkan SMPnya dan si Bungsu akan menamatkan SDnya. Emak pusing. Bukannya hanya masalah uang, tapi juga masalah sekolah baru. Kalau si Bungsu Insya Allah akan melanjutkan SMP di yayasan yang sama. Nah, ini bikin emak agak tenang. Si Sulung, masih tanda tanya. Emak sih berharap ia lulus SNMPTN. Tapi lulus SBMPTN pun Alhamdulillah. Atau kalaupun tidak, lulus universitas swasta pun, tak apa-apa. Yang bikin galau tingkat tinggi adalah si Bujang. Ia mau masuk pesantren. Kalau tak lulus, waah...repot. Mau kemana lagi? Wong...pesantren itu swasta.😂😂 

Alhasil, awal tahun ini, keluarga kami jadi sibuk mondar mandir ke luar kota. Si bujang, Sayyid, mengikuti tes masuk pesantren/boarding school di empat lembaga pendidikan yang tersebar di 3 kota. Satu di Bandung, satu di Karawang dan dua di Sukabumi


Melanjutkan SMA di sekolah boarding atau pesantren, memang merupakan pilihan kami bersama. Ada beberapa hal yang hanya bisa dicapai oleh Sayyid dengan bersekolah di sekolah berasrama. Maka Sayyid mencoba peruntungan di empat sekolah sekaligus. Kenapa begitu banyak? Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah masuk sekolah boarding sekarang sulit. Kalau hanya mengandalkan satu sekolah, kami khawatir apabila ia tidak lulus, terus ingin tes di tempat lain, pendaftaran sudah tutup semua. Walau akhirnya ternyata ia LULUS di semua sekolah yang ia ikuti. Alhamdulillah.

Total bolak balik kami dalam 2 bulan adalah 5 kali bolak balik ke luar kota. Empat kali karena tes, 1 kali untuk memastikan sekolah yang akan Sayyid ambil dari 4 pilihan itu. Yaitu SMA Pesantren Unggulan Al Bayan Anyer. Itu belum dihitungkan dengan survey yang dilakukan ke sekolah-sekolah tersebut di akhir tahun kemarin, sebelum mendaftar. 

Melelahkan? Pasti. Bahkan ketika dalam perjalanan menuju SMA PU Al Bayan ke Anyer, si bungsu Alyssa sudah mengeluh capek dan bosan pergi-pergi terus. Kasihan Alyssa. Harus ikut merasakan capeknya mondar mandir mencari sekolah yang bukan untuk dirinya.

Tapi yang menjadi perhatianku bukan itu. Tapi kalimat penyertanya,
“Kalau Alyssa survey pesantren nanti, juga tes masuknya, uni dan uda harus IKUT menemani,” nadanya tegas.

Masya Allah….ternyata ia mengamati dan berpikir cukup jauh. Si cuek ini, yang kadang kami melihatnya sebagai anak yang tak mau repot berpikir, lebih cenderung seperti air mengalir saja, riang dan enjoy, ternyata bisa juga berpikir mendalam.

Ternyata ia mengamati, ketika kakaknya si Uni Muthia mencari sekolah, kami berlima bahondoh pondoh (ramai-ramai ; minang red) pergi sekeluarga. Di sepanjang jalan, heboh. Makan heboh. Suasana riang. Setelah si Uni di pesantren, anggota keluarga tinggal empat orang. Dan saat Sayyid mencari pesantren, hanya kami berempat saja yang wara-wiri ke sana kemari. Kehebohan berkurang. Dan tentu, apabila nanti si Uda Sayyid sudah di pesantren, hanya tinggal kami bertiga.😢

Pasti terbayang olehnya betapa sepi ketika tiba waktunya bagi ia mencari SMA. Tak ada gelak tawa dia dan kakak-kakaknya, keributan-keributan kecil antara mereka sebagai penghangat suasana. 

Entah kenapa, air mata menggenang di pelupuk mataku. Iya, mungkin sangat sepi ketika itu, nak.😭

Ingatanpun melayang puluhan tahun silam.

Saya lima orang bersaudara.
Ketika kakak sulung kami tamat kuliah sebagai Sarjana Ekonomi di Universitas Andalas Padang, lulus dengan nilai terbaik ke 2, serta pernah menjuarai beberapa kali lomba karya tulis ilmiah tingkat propinsi maupun nasional, terasa eforia bahagia yang luar biasa bagi kami sekeluarga. Terutama ayah kami. Dengan mengerahkan kemampuan finansialnya yang sangat terbatas, beliau mencari pinjaman mobil untuk menghadiri prosesi wisuda itu dan mengajak kami semua untuk pertama kalinya makan di restoran terkenal di kota kami, setelah acara wisuda itu.

Kemudian kakak pertama bekerja di Jakarta. Sehingga ketika kakak kedua di wisuda, formasi kami sudah tak komplit. Eforia bahagia sudah tak setinggi dulu lagi. Walau kami semua tetap hadir di acara wisuda dan makan di restoran setelah acara wisuda itu.

Ketika tiba masaku di wisuda, kakak kedua sudah bekerja. Walau masih satu kota dengan kami, dan beliau menyempatkan hadir di acara wisudaku, tetapi tidak bisa hadir di acara makan-makan kami di restoran karena urusan pekerjaannya. Dua orang kakak tak hadir. Eforia kebahagiaan itu semakin menguap. 

Kemudian setelah itu aku menikah dan di boyong suami tercinta ke Jakarta. Saat adikku nomor empat dan lima wisuda, hanya berempat saja yang tersisa di Padang. Mereka dengan kedua orang tuaku. Dan ayahpun jalannya sudah pakai tongkat akibat serangan stroke. Hanya mereka berempat saja yang menghadiri acara wisuda dan tak ada lagi acara makan-makan ke restoran. Adik-adikku tak tertarik lagi makan-makan di restoran karena merasa sepi.

Tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak ke dalam dada. Kenapa tak terpikirkan olehku untuk memaksakan diri pulang demi adik-adikku yang kucintai itu? Kalau kakak-kakakku kesulitan pulang karena tuntutan pekerjaannya, bukankah aku bisa menyempatkan diri pulang demi membahagiakan mereka? Ahhh…😭😭

Kini, si bungsu sudah bisa meraba, apa yang akan terjadi ketika ia mensurvey sekolah nanti dan mengikuti tesnya. Maka, jauh-jauh hari ia sudah membuat sebuah permintaan. Kehadiran kakak-kakaknya! 

Ketika hal ini kuutarakan ke Muthia, tiba-tiba ia terdiam dan pelupuk matanya pun langsung basah. Sedangkan Sayyid, seperti biasa, nyengir sambil ketawa kecil. (ahh…kalian memang berbeda). Tapi keduanya berjanji, berusaha untuk hadir ketika waktu itu tiba. Insya Allah. Mudahkan ya Allah.

Tak akan kami biarkan engkau merasa sepi, sayang…..

Kami akan berusaha hadir kapanpun engkau membutuhkan. Insya Allah

#Jangan lupakan si bungsu


Karawang, 27 Maret 2019


********
Catatan.
Alhamdulillah, Si sulung kami Annisa Muthia lulus SNMPTN di Jurusan Psikologi Univ Andalas,Padang
Powered by Blogger.