Sehari Bersama Suku Baduy Yang Unik




Bermula dari cerita Muthi tentang temannya yang berlibur ke kampung Baduy. Menurut temannya, berlibur ke kampung Baduy itu mengasyikkan karena di sana indah dan sangat alami. Oh…kenapa tidak? Sangat layak juga kita berkunjung ke sana. Melihat suatu suku terisolasi yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Mudah-mudahan banyak ilmu dan pengalaman di sana.

Singkat cerita, akhirnya kami bersepakat dengan pihak ANT Tour Indonesia untuk memandu perjalanan kami. Dan perjalanan kami hanya sampai ke Baduy Luar. Tidak sampai ke Baduy Dalam. Soalnya kami khawatir, kalau Alyssa tidak sanggup melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Mengingat medannya yang harus dilalui adalah gunung dengan perjalanan yang pasti mendaki dan menurun. Untuk sampai ke perkampungan Baduy Luar kami harus melintasi pegunungan kira-kira 1 jam perjalanan. Dan untuk sampai ke Baduy Dalam menempuh perjalanan yang juga naik turun sejauh kira-kira 4 jam. Jadi buat perdana, cukup Baduy Luar dulu.

Perjalanan kami dimulai dari Desa Ciboleger, kabupaten Lebak Banten. Desa Ciboleger ini merupakan pintu masuk ke Kampung Baduy. Untuk sampai ke desa Ciboleger ini kami menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari Karawang dengan menggunakan mobil pribadi. Dan petualangan kami ini akan di pandu oleh Crew ANT Tour Indonesia yaitu Mas Sigid dan Mas Jundi. Serta seorang pemandu warga asli Kampung Baduy Dalam yaitu Pak Idong. Setiap tamu yang ingin berkunjung ke kampung Baduy harus didampingi oleh warga asli Kampung Baduy. Begitu peraturannya.


Lokasi
Perjalanan pertama kami adalah menaiki tangga semen sepanjang sekitar 100m. Setelah itu kamipun menjumpai Gerbang ucapan selamat datang di kampung Kanekes. Ya, tempat tinggal orang Baduy ini terletak di desa Kanekes. Sehingga mereka sebenarnya lebih suka disebut “urang Kanekes”.

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Orang Baduy bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, dan berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu rata-rata 20 °C.
Setelah memasuki gerbang desa Kanekes kami segera berkunjung ke rumah Jaro untuk minta izin secara adat dan membayar administrasi sebesar Rp 5.000,- per orang. Jaro ini adalah wakil ketua adat atau yang disebut Pu’un. Sayang sang Jaro sedang tak di tempat sehingga kami diterima oleh wakilnya.

Setelah itu, kami berjalan memasuki area pegunungan dengan tanaman hijau di kiri kanan kami. Hutan yang basah karena baru saja di guyur hujan memberikan suasana yang sejuk, segar, dan damai. Jalur pendakiannya sangat rapi. Di susun oleh batu-batu alam. Sehingga kita mudah menapaki setiap tangganya. Jalur yang mendaki dan menurun serta berkelok-kelok memberikan sensasi tersendiri. Kami semua merasakan keriangan, di antara nafas yang memburu. Kebetulan beban kami pun tidak terlalu berat. Tas carrier 42 liter kami dibawakan oleh Pak Idong. Dua ransel kecil dibawa si ayah dan Muthi. Sedangkan  Sayyid dan Alyssa bebas tak membawa apa-apa. Sedangkan saya, biasaaa…selalu menyandang si Nikon D7000 dengan setia.


Pak Idong berperawakan sedang, tapi sangat kuat. Dengan beban berat di punggung dan bahunya, serta tanpa alas kaki, dia lincah dan gesit menapaki setiap tangganya. Maklum, sebagai penduduk Baduyi Dalam, perjalanan dari rumahnya di Baduy Dalam ke Desa Coboleger bisa ia lakukan sampai 4x dalam sehari. Sementara dari Desa Ciboleger ke kampung Baduy Dalam menempuh waktu (bagi kita) sekitar 4 jam. Kebayangkan bagaimana tangguh dan kuatnya kaki Pak Idong?

Pak Idong


Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Secara umum, orang Baduy terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtupanamping dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat menjalankan adat. Pakaian mereka berwarna hitam dan putih dengan ikat kepala berwarna putih.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar). Pakaian mereka adalah hitam dan biru dengan ikat kepala berwarna biru.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes. (Permana, 2001).
Ikat kepala putih, suku Baduy Dalam. Ikat kepala biru, suku Baduy Luar

Selama perjalanan kami sudah melihat keunikan masyarakat Baduy ini. Mereka tidak ingin menguasai alam. Tapi mereka hidup berdampingan dengan alam. Hal ini terlihat jelas dari sawah yang mereka kelola. Mereka sama sekali tidak mengubah kondisi alam dengan membuat sawah atau membuat terasering. Tanaman padi ditanam di antara pohon-pohon. Sesuatu yang unik melihat tanaman padi berada di antara pohon-pohon besar. Dan cara menanam padinya pun sederhana. Tidak dibajak. Cukup membuat lubang dengan bambu yang diruncingkan. Sederhana bukan? Dan tentu saja alami tanpa pupuk maupun pestisida.

Tanaman Padi di sela pohon kelapa dan pisang

Setelah pendakian yang agak curam, maka selanjutnya adalah turunan panjang. Di ujung turunan, terlihatlah kampung Baduy Luar. Perjalanan kami tempuh selama 1,5 jam. Meskipun mendaki dan menurun selama 1,5 jam dan lumayan capek, tapi tak seorangpun dari kami yang menggerutu. Semua menjalaninya dengan riang gembira. Karena pemandangan alam sekitarnya yang indah, serta setiap tikungan perjalanan mendaki atau menurun ini, memberikan rasa penasaran. Ada apa di baliknya? Karena di setiap tikungan memberikan pemandangan yang berbeda. Benar-benar luar biasa.

Kampung Baduy Luar

Memasuki perkampungan Badui Luar seakan-akan kita baru saja melewati lorong waktu dan terdampar sekian ratus tahun sebelum masehi. Uppsss…lebay! Pemandangannya benar-benar eksotis. Rumah-rumah yang terbuat dari bambu, berjejer rapi dengan halaman dan jalan setapak dari batu yang disusun rapi. Bersih tak bersampah. Di setiap rumah terdapat tempat sampah yang terbuat dari bambu yang dianyam seperti bubu penangkap ikan. Di pasang di atas bambu. Sehingga kucing atau ayam tidak bisa mengacak-acaknya. Dan hampir di setiap rumah terdapat pondok kecil untuk menyimpan kayu bakar. Kayu bakarnya pun dipotong rapi dan disusun dengan rapi pula. Rumah merekapun, meski berpenampilan sederhana dan seragam, juga bersih dan rapi. Dan penduduknya juga berpenampilan bersih. Sebagian wanitanya, dewasa maupun anak-anak, memakai lipstik merah. Kampung ini terletak di pinggir sungai. Mata benar-benar terpesona melihat keadaan ini. Sampai di sini kita benar-benar merasa at home.



Karena kampungnya sering dikunjungi wisatawan, mereka sedikit memberi fasilitas untuk tamu. Yaitu kamar mandi yang disediakan untuk tamu perempuan yang disebut bilik. Ukurannya kecil. Terbuat dari bambu seperti rumah mereka. Di dalamnya sudah disediakan bak mandi yang terbuat dari pohon besar yang di lubangi sehingga membentuk bak panjang. Airnya langsung di alirkan dari sungai. Tapi mereka sendiri tak menggunakan bilik itu. Mereka, baik laki-laki dan perempuan, melakukan semua urusan belakang di sungai yang terletak di bekang rumah mereka.

Kebudayaan
Suku Baduy atau Urang Kanekes ini, dengan sengaja mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Mereka tak tersentuh kemajuan zaman. Tak ada listrik di sini, tak ada lembaga pendidikan, juga tak ada peralatan elektronik. Mereka bersikukuh dengan adat istiadat mereka. Menjaga warisan nenek moyangnya turun temurun.

Pimpinan tertinggi mereka atau pimpinan adat dikenal dengan sebutan Pu’un. Pu’un memiliki wakil yang sebut Jaro. Jaro ini ada dua orang, Jaro Adat dan Jaro Pamarentah. Jaro pamarentah bertugas untuk menjalankan semua tugas yang berhubungan dengan pemerintah. Jaro pamarentah ini secara struktur pemerintah, berada di bawah Camat.

Mereka menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Keberadaan kepercayaan mereka sudah diakui oleh pemerintah. Untuk itu kolom agama di KTP mereka tertulis agama Kepercayaan.
Pekerjaan utama mereka adalah berladang (huma), berdagang, juga menenun. Rata-rata perempuan suku Baduy terampil menenun. Selama di sana saya menyaksikan ketrampilan mereka dalam menenun selendang, sarung, ikat kepala, kain dan lain-lain. Salah satunya gadis berusia 12 tahun, Sane’ah. Dengan alat tenun kecil ia menenun selendang. Hasil tenunan selendangnya rapi dan halus. Sebuah selendang dapat ia selesaikan dalam waktu seminggu, dan ia jual dengan harga 50 ribu rupiah. Sayapun membeli salah satu karyanya. Dan senyumanpun tersungging di wajah cantiknya.

Sane'ah sedang menenun

memintal benang

Banyak hal unik yang dapat kita pelajari dari mereka. Betapa gotong royong merupakan nadi mereka dalam kehidupan. Membangun rumah misalnya. Mereka tak pernah dipusingkan dengan biaya seperti biaya material maupun upah tukang. Bahan-bahan tinggal mereka ambil di alam. Sedangkan pekerjanya mereka lakukan bersama-sama. Begitu juga dengan lahan pertanian. Tak perlu mereka membeli tanah seperti kita. Mereka semua diberikan tanah dengan sistem hak guna pakai oleh ketua adatnya. Setiap warga yang sudah menikah, akan mendapatkan ladang untuk berkebun. Dan dalam pernikahan, mereka tak mengenal pacaran seperti pemuda jaman sekarang. Pernikahan mereka diatur oleh orang tua mereka. Tingkat kepatuhan mereka kepada orang tua dan ketua adat sangat tinggi. Karena sanksi yang diterapkan juga tinggi. Yaitu bisa dibuang secara adat.

Rumah-rumah mereka seragam bentuknya yaitu rumah panggung dan pintunya juga menghadap ke arah yang sama, utara atau selatan kecuali rumah Pu’un. Baju mereka modelnya sama semua. Tak boleh ada perabotan di rumah mereka. Perabotan yang diizinkan hanya perabotan makan dan memasak. Itupun seadanya.

Untuk warga Baduy Dalam, peraturan lebih ketat seperti, tak boleh mengenakan alas kaki dan tak boleh menggunakan kendaraan kemanapun pergi. Pak Idong, pemandu kami yang merupakan Suku Baduy Dalam, daerah terjauh yang pernah ia tuju adalah Bekasi. Untuk sampai ke Bekasi, ia berjalan kaki selama 4 hari. Allahu Akbar!

Tapi untuk warga Baduy Luar, mereka agak sedikit longgar. Mereka boleh menggunakan alas kaki dan boleh menggunakaan kendaraan seperti mobil.

Sebenarnya pemerintahan di jaman Soeharto sudah menawarkan listrik, pembangunan sekolah dan kesehatan kepada masyarakat Baduy. Tapi semua itu mereka tolak. Sehingga kebanyakan dari mereka memang buta huruf.

Tapi mereka bahagia dalam kesederhanaan mereka.
Tak ada iri dalam urusan duniawi bagi mereka. Tak dipusingkan dengan baju model terbaru, gadget keluaran terbaru, Sekolah favorit, mencari pekerjaan dan lain-lain. Semuanya damai dan tentram tanpa nafsu duniawi.  

Berlibur di sini
Selama berada di sini, kami benar-benar bersantai menikmati suasana seraya berusaha memahami pilihan hidup mereka.

Kami sampai di kampung baduy Luar ini, tepatnya di desa Gajebo, jam empat sore hari Sabtu. Setelah meletakkan barang-barang kami di salah satu rumah penduduk yang menjadi home stay kami, kami pun segera pergi ke jembatan gantung yang terbuat dari bambu dan mengunjungi lumbung padi (leuit) mereka. Jembatan gantungnya perlu acungi jempol. Dengan teknologi sederhananya, tanpa menggunakan sling baja, jembatan mereka amat kokoh. Untuk leuitnya tersusun dengan artistik, rapi dan bersih. Sepertinya bersih memang menjadi karakter mereka. Setelah itu kami kembali ke home stay dan disuguhi durian Badui nan legit dan berdaging tebal oleh Pak Idong. Masya Allah…enaknya. Durian matang pohon. Saking enaknya, sayapun lupa dengan penyakit. 

Leuit (lumbung padi) suku Baduy Luar 


Jembatan Gantung Kampung Baduy Luar

Malamnya setelah menjamak sholat Maghrib dan Isya, kamipun segera makan makanan suguhan dari tuan rumah dengan diterangi lampu emergency lamp kepunyaan mas Wandi. Menu sederhana, nasi, telur dadar, ikan asin, ikan sarden dan indomie rebus, tapi sanggup membuat anak-anak makan dengan lahap dan nambah. Tambuah ciek da ! Hahahaaa…

Paginya diisi dengan main ke sungai dan berbaur dengan penduduk. Melihat mereka menenun, membeli jualan mereka dan mencoba berinteraksi dan bercakap-cakap dengan mereka. Meskipun mereka berbahasa Sunda, tapi logatnya sangat jauh dari logat bahasa Sunda umumnya. Tak ada irama khas naik turun seperti bahasa Sunda, malah cenderung tegas dan agak keras seperti logat Batak. Dan bahasa Indonesiapun tidak semuanya mereka paham. Seperti ketika saya lewat di depan mereka, saya berkata “permisi”. Tak seorangpun yang menjawab. Kemudian Alyssa berkata, “Bilang punten, bu”. Hohoo…setelah saya bilang punten, merekapun menjawab ramah.

meniup seruling pengisi waktu

Wanita Baduy Luar


Jam 10 pagi kamipun kembali pulang. Menempuh perjalanan mendaki dan menurun selama 2 jam. Alhamdulillah, selama di sana kami lepas dari dunia modern. No tv, no gadget, no electricity, no spring bed dan lain-lain. Benar-benar damai. Dan Alhamdulillah lagi, anak-anak tak seorangpun yang mengeluh, baik ketika melewati perjalanan yang cukup berat, pun ketika ketiadaan fasilitas modern. Tidur hanya di lantai bambu, beralaskan tikar. Bahkan ketika waktu Subuh dibangunkan, dalam kondisi dingin menggigit, mata masih seperti di lem, harus berjalan sekitar 100 m menuju bilik untuk berwudhu, tidak mengeluh sama sekali. Juga Sayyid yang harus ke sungai untuk berwudhu, enjoy saja. Semuanya menikmati apa yang ada. Bahkan Alyssa yang saya khawatirkan tidak kuat jalan jauh, justru ketika jalan pulang, atas kemauannya sendiri membawa ransel yang tadinya di bawa Muthi. Dan jalannya selalu yang terdepan dengan riang gembira.

Sekali lagi Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. Anak-anak bisa menikmati semua keadaan. Di bawa liburan mewah tidak norak, dibawa petualangan dengan minim fasilitas tidak canggung. Semoga Allah memberi kami kesempatan untuk berkunjung ke belahan bumiNya yang lain. Aamiin….

Terima kasih buat pemandu kami yang baik, ramah dan menguasai bahasan, Mas Sigid dan Mas Jundi. Dan Juga pak Idong yang luar biasa. Serta anaknya Pulung yang mau jadi model. Dan si bungsu pak Idong, Sanan (4 tahun) yang lucu dan memiliki kekuatannya yang dahsyat. Batu yang tertanam di tanah, dia tendang. Bukan kakinya yang sakit dan berdarah tapi batunya yang pecah. Anaknya aja begitu. Apalagi bapaknya. Jadi jangan coba-coba cari masalah dengan orang Baduy. Heheee…

Akhirul kalam, teman-teman harus mencoba hasil alam masyarakat Baduy ini seperti durian dan madu hutannya. Masya Allah….enak, asli dan murah bingits.

Pak Idong dengan durian hasil kebunnya

Anak Suku Baduy Luar membawa durian hasil kebunnya ke Desa Ciboleger untuk di jual






3 comments:

  1. Suku yang masih menjaga alam seperti ini tggl sedikit jumlahnya. Biar mereka dikata primitif tapi nnti merekalah yang menyelamatkan bumi ini. Tapi seru banget ya bisa melihat lsg gimana hidup mereka sehari-hari

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mba.... mereka tidak tergantung dengan peralatan modern. hidup mereka benar-benar memanfaatkan apa yang ada di alam.

      Delete

Powered by Blogger.