Pelajaran pertama di pesantren


"Muthi kira bahasa Inggris Muthi sdh bagus (sdh pernah ke luar negeri dan nilai UN hampir sempurna), ternyata bertemu anak dari Qatar, pronounce Muthi kalah jauh.
Muthi kira tahsin Muthi sdh bagus (sdh menyelesaikan metoda qiro'ati dan ummi), ternyata ada yg lebih bagus.
Muthi kira matematika Muthi sdh bagus ternyata, ada anak pemenang matematika O2SN Dr Jawa Barat di sini.
Muthi kira Muthi sudah supel ternyata ada yg lebih supel lagi dari Muthi."
Begitulah curhat si gadis ketika td kunjungan pertama ke asramanya.
Ternyata masih ada langit di atas langit. Kalau sebelum ini HANYA mengetahui sekarang benar2 merasakan maknanya. Engkau hanya perlu memperbanyak sabar dan ikhlas serta bersyukur, anakku.
Tapi ada ujian, ada juga kebahagiaan. Selama seminggu mengikuti Funtastic (nama lain MOS), dia terpilih sebagai siswi TERSOPAN. Karena selalu menggunakan kata TERIMA KASIH, TOLONG, MAAF dan PERMISI. Dan sukses membawa kelompoknya menjadi kelompok TERKOMPAK. Double present for her.
Ada kejadian yg membuatnya bersyukur pernah di gembleng survival di Gunung Bundar dan Gunung Gede, Jawa Barat, oleh Sekolah Alam Karawang.
Dua hari terakhir Funtastic adalah kemping di Capolaga, Subang. Ketika mereka diberi tugas mencari 10 tumbuhan yg bisa dimakan di hutan, teman2 sekelompok nya langsung bersorak, "Horee...nggak salah kita mengangkat kamu jadi ketua kelompok, Muthi. Dari Sekolah Alam!".
Dan dengan dipandu Muthi akhirnya kelompok Muthi dan kelompok lainnya berhasil mendapatkannya.
‪‎Dan akan banyak lagi pelajaran yang akan engkau dapatkan, nak. Semoga Allah selalu membantumu, dan memudahkannya untukMU. We all love you dear....

Siapa yang menanam pohon, ia akan menuai buah


(Review kunjungan I ke Assyifa Boarding School,31 Juli 2016)

Ketika pertama kali mengantar masuk asrama Assyifa, Muthia bersemangat. Dari awal dia sudah mempersiapkan semua perlengkapannya sendiri termasuk packing. Saya hanya sebatas menemani membeli keperluannya. Begitupun ketika di kamar asramanya, 10.4, dia menyusun semua barang bawaannya sendiri tanpa campur tangan saya sedikitpun. Dia memang sudah mandiri.

Ketika saya akan pulang, kami masih ketawa-tawa. Saya sibuk menggoda dan bercanda supaya dia tidak sedih. Dan selamatlah hari itu tiada tetesan air mata dari kami berdua. Oh ya, si ayah tidak bisa mengantar karena lagi dinas ke Surabaya.

Seminggu kemudian kami sekeluarga mengunjunginya. Dalam pelukan erat, air mata mengalir di pipinya,
“Muthi merasa Muthi di sini cuma kemping seminggu. Kemudian ibu dan ayah jemput Muthi. Ternyata Muthi di sini lamaaa…” ujarnya sedih. Ooo…si gadis mulai merasa berat berpisah dengan keluarga. Hatikupun ikut merasakan kesedihannya. Air mata rindu dan harupun ikut mengalir di pipiku.

Sejurus setelah melepas rindu denganku, ayah dan adik-adiknya, iapun asyik bercerita tentang keseruan acara fantastik. Dari seminggu kegiatan fantastik yang direduksi menjadi hampir 1 jam cerita tanpa jeda, ada 1 hal yang membuatku terharu dan menahan tangis kuat-kuat, jangan sampai terlihat olehnya, yaitu ketika ia bercerita dengan bahagia bahwa ia terpilih menjadi siswi TERSOPAN, karena ia selalu menggunakan kata terima kasih, maaf, tolong dan permisi.

Mungkin bagi yang lain, itu penghargaan yang biasa saja. Tapi, sungguh, bagi saya itu besar maknanya.

Betapa tidak, saya dulu menerima ejekan ketika menanamkan akhlak itu kepadanya. Memori lama jadi terbuka kembali. Ketika Muthia berumur 4 tahun, tepatnya 3 tahun 9 bulan, ia melewati kerumunan ibu-ibu. Dengan sopan iapun berkata, “permisi…permisi…”. Tapi bukannya berempati dan dipersilahkan malah ada ibu-ibu yang berkata,

“Permisi ama siapa? Ama tembok?” dengan nada yang cukup sinis (…ah mungkin saya lagi sensi ketika itu). Terus ada yang berkomentar, “makanya anak itu diajarin nyebutin panggilan orang. Jangan permisi aja…”

Helloooow….dia masih 4 tahun kurang! Wajar dia belum bisa menyebutkan panggilan orang per orang, tante, Bu De, mba dan lain-lain. Sedangkan betapa banyaknya anak-anak, remaja sampai dewasa yang melenggang di depan orang banyak yang dia kenal, tanpa permisi sedikitpun.

Kemudian kalau salah, Muthia selalu minta maaf. Sama siapapun. Itupun, masih ada yang mensinisi. Masih di tahun yang sama, “Muthi mah minta maaf supaya nggak dimarahi ibunya. Maaf Cuma jadi tameng. Ibunya sih nggak pernah marahin anaknya. Jadi tiap salah, minta maaf, selesai.”

Apakah saya harus tidak menerima permintaan maaf anak usia 4 tahun? Dia bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar serta menyadari kesalahannya dan minta maaf, bagi saya itu sudah luar biasa. Betapa banyaknya anak-anak bahkan orang dewasa yang tak pernah merasa salah dan minta maaf?

Sekarang, 11 tahun kemudian, Assyifa mengapresiasi akhlak itu. Sungguh saya sangat terharu. Sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang itu nggak penting banget, ternyata betapa Assyifa sangat menghargainya. Beberapa kali air mata saya meleleh minggu ini di rumah.


Jazakumullah khairan katsiran. Kepercayaan saya terhadap Assyifa makin besar. Semoga ilmu yang ia dapatkan di sini membawa berkah baginya dan bagi masyarakat kelak. Juga buat ananda-ananda lainnya yang menuntut ilmu di Assyifa. Dan semoga yayasan Assyifa beserta guru-gurunya selalu diberkahi dan diberi kesehatan serta ini menjadi lading amal ang membawa ke JannahNya. Aamiin….
Powered by Blogger.