(Review kunjungan I ke Assyifa
Boarding School,31 Juli 2016)
Ketika pertama kali mengantar masuk asrama Assyifa, Muthia
bersemangat. Dari awal dia sudah mempersiapkan semua perlengkapannya sendiri
termasuk packing. Saya hanya sebatas menemani membeli keperluannya. Begitupun
ketika di kamar asramanya, 10.4, dia menyusun semua barang bawaannya sendiri
tanpa campur tangan saya sedikitpun. Dia memang sudah mandiri.
Ketika saya akan pulang, kami masih ketawa-tawa. Saya sibuk
menggoda dan bercanda supaya dia tidak sedih. Dan selamatlah hari itu tiada
tetesan air mata dari kami berdua. Oh ya, si ayah tidak bisa mengantar karena
lagi dinas ke Surabaya.
Seminggu kemudian kami sekeluarga mengunjunginya. Dalam
pelukan erat, air mata mengalir di pipinya,
“Muthi merasa Muthi di sini cuma kemping seminggu. Kemudian ibu
dan ayah jemput Muthi. Ternyata Muthi di sini lamaaa…” ujarnya sedih. Ooo…si
gadis mulai merasa berat berpisah dengan keluarga. Hatikupun ikut merasakan
kesedihannya. Air mata rindu dan harupun ikut mengalir di pipiku.
Sejurus setelah melepas rindu denganku, ayah dan
adik-adiknya, iapun asyik bercerita tentang keseruan acara fantastik. Dari
seminggu kegiatan fantastik yang direduksi menjadi hampir 1 jam cerita tanpa
jeda, ada 1 hal yang membuatku terharu dan menahan tangis kuat-kuat, jangan
sampai terlihat olehnya, yaitu ketika ia bercerita dengan bahagia bahwa ia
terpilih menjadi siswi TERSOPAN,
karena ia selalu menggunakan kata terima
kasih, maaf, tolong dan permisi.
Mungkin bagi yang lain, itu penghargaan yang biasa saja.
Tapi, sungguh, bagi saya itu besar maknanya.
Betapa tidak, saya dulu menerima ejekan ketika menanamkan
akhlak itu kepadanya. Memori lama jadi terbuka kembali. Ketika Muthia berumur 4
tahun, tepatnya 3 tahun 9 bulan, ia melewati kerumunan ibu-ibu. Dengan sopan
iapun berkata, “permisi…permisi…”. Tapi bukannya berempati dan dipersilahkan
malah ada ibu-ibu yang berkata,
“Permisi ama siapa?
Ama tembok?” dengan nada yang cukup sinis (…ah mungkin saya lagi sensi ketika
itu). Terus ada yang berkomentar, “makanya anak itu diajarin nyebutin panggilan
orang. Jangan permisi aja…”
Helloooow….dia masih 4 tahun kurang! Wajar dia belum bisa
menyebutkan panggilan orang per orang, tante, Bu De, mba dan lain-lain.
Sedangkan betapa banyaknya anak-anak, remaja sampai dewasa yang melenggang di
depan orang banyak yang dia kenal, tanpa permisi sedikitpun.
Kemudian kalau salah, Muthia selalu minta maaf. Sama
siapapun. Itupun, masih ada yang mensinisi. Masih di tahun yang sama, “Muthi
mah minta maaf supaya nggak dimarahi ibunya. Maaf Cuma jadi tameng. Ibunya sih
nggak pernah marahin anaknya. Jadi tiap salah, minta maaf, selesai.”
Apakah saya harus tidak menerima permintaan maaf anak usia 4
tahun? Dia bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar serta menyadari
kesalahannya dan minta maaf, bagi saya itu sudah luar biasa. Betapa banyaknya
anak-anak bahkan orang dewasa yang tak pernah merasa salah dan minta maaf?
Sekarang, 11 tahun kemudian, Assyifa mengapresiasi akhlak
itu. Sungguh saya sangat terharu. Sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang itu
nggak penting banget, ternyata betapa Assyifa sangat menghargainya. Beberapa
kali air mata saya meleleh minggu ini di rumah.
Jazakumullah khairan katsiran. Kepercayaan saya terhadap
Assyifa makin besar. Semoga ilmu yang ia dapatkan di sini membawa berkah
baginya dan bagi masyarakat kelak. Juga buat ananda-ananda lainnya yang
menuntut ilmu di Assyifa. Dan semoga yayasan Assyifa beserta guru-gurunya
selalu diberkahi dan diberi kesehatan serta ini menjadi lading amal ang membawa
ke JannahNya. Aamiin….
0 comments:
Post a Comment