E-toll mempermudah?


Kemarin, ketika hendak balik ke Karawang dari Cikampek, saya baru sadar saldo e-toll saya tinggal 3500. Dengan terpaksa sayapun harus berhenti di minimarket I untuk isi ulang. Padahal saya harus buru2 pulang krn si kecil sebentar lagi pulang eksklul renang.
Ternyata di minimarket I ada gangguan sinyal, shg e-toll tdk bisa diisi ulang. Kemudian saya jalan lagi. Ketika ketemu minimarket A, saya berhenti dan masuk. Ternyata e-toll sy Mandiri, tidak bisa diisi di sini. Saya mulai geram. Akhirnya jalan lagi. Ketemu lagi dg minimarket A. Alhamdulillah di sini bisa diisi.
Biasanya, untuk kembali ke Karawang dari Cikampek via tol, saya hanya perlu mengeluarkan uang Rp 6.500,-. Nah, untuk mengisi e-toll ini saya harus merogoh kocek 50ribu + 1000 untuk biaya charge. Dan stlh bayar tol, tersisa saldo 47ribu.
Pengisiannya saja sudah repot dan makan waktu. Sekarang, untuk membayar yang 6.500 saya harus mengeluarkan dana 50 ribu lebih. Dan ada 47 ribu rupiah dana saya yang tertahan di kartu e-toll. Itu baru dari saya saja. Bayangkan dari 1 juta menggunakan e-toll, dg minimal saldo yg tersimpan 40ribu. Ada berapa dana yg terhimpun oleh pemerintah tanpa susah payah? 40 milyar!! Itu kalau minimum 40 ribu lho...
Mantap benar kan? Tidak perlu mengeluarkan surat berharga, surat utang, pemerintah dg gampangnya bisa meraup uang rakyat sebanyak itu! Sementara kita, dg uang segitu mungkin banyak keperluan yang bisa di beli tapi tidak jadi terbeli. Angka 40 milyar itu bisa digunakan rakyat menggerakkan sektor ekonomi.
Terus, di Karawang sebelum e-toll diberlakukan, tidak ada antrian panjang untuk masuk tol. Kalau keluar mah...sering.

Biasanya, pengemudi hanya perlu nginjak rem sekitar 2 detik. Injak rem, ambil kartu, palang terbuka dan jalan. Sekarang, injak rem, tap kartu, tunggu konek, palang terbuka, dan jalan. Butuh waktu minimal 6 detik. Kalau proses pembacaan kartu agak lama, bisa 10 detik tertahan di pintu masuk tol. Dan akibatnya sekarang antrian masuk tol di pintu tol Karawang barat, puanjaaaang. Bikin kesal.
Sejatinya, setiap perubahan yang ditetapkan oleh pemerintah ke warganya, harus lebih memudahkan warganya. Tapi pelaksanaan e-toll ini, menyusahkan bagi saya.
Minimal 3 kesusahan yang saya rasakan.
1. Pengisian bikin susah, dan makan waktu serta tenaga.
2. Harus menyimpan dana yg seharusnya bisa kita pakai untuk yang lain.
3. Bikin macet kalau mau masuk tol.
Di negara lain, termasuk Amerika, tidak ada kewajiban e-toll. Semua terpulang kepada pribadi masing-masing.
Bagi saya pemaksaan pemakaian e-toll itu suatu bentuk pendzaliman. Jadi permintaan saya kepada pemerintah, kembalikan kebijakan seperti semula. Tidak perlu diwajibkan. Saya lebih nyaman dg uang tunai. Tidak bikin repot. Kalau pemerintah memerlukan dana dari rakyat, cari dengan cara yg lain dan tolong permudah rakyat dalam beraktivitas.

Belajar Tahsin = Belajar Nyetir Mobil ?




Siapapun tahu belajar tahsin pasti berbeda dengan belajar nyetir. Yang satu belajar membaca Al Qur’an dengan benar sebagaimana bacaan Rasulullah SAW dan para sahabatnya RA dengan cara mempelajari:

1. Mengeluarkan huruf dari makhrajnya (tempat keluarnya) = makhorijul huruf.
2. Memenuhi sifatnya (sifatul huruf).
3. Memperhatikan hukum bacaan

Sedangkan belajar nyetir adalah belajar cara mengendarai mobil. Sebuah moda transportasi  yang jaman sekarang bukan lagi barang mewah. Tapi sudah kebutuhan terutama bagi yang mobilitasnya tinggi.

Entah kenapa, bagiku terasa sama.

Sebenarnya saya bukannya tidak bisa mengaji. Saya cukup lancar dan fasih membaca Al Qur’an. Tapi makhrojul huruf dengan tajwid-tajwidnya juga tanda baca Al qur’an, saya tidak sempurna mengetahuinya. Sehingga diumur yang sudah 45 tahun ini saya tergerak untuk lebih mendalaminya. Maka sayapun ikut kelas tahsin dengan ummu Alma.

Ternyata memang, banyak yang harus saya perbaiki dari pengucapan huruf-hurufnya. Belum lagi tajwid. Ternyata yang saya pelajari ketika TPA dulu masih kurang. Yaa…mungkin yang saya pelajari memang sesuai dengan tingkatan TPA. Harusnya saya melanjutkannya ke DTA. Tapi itu  dulu tak saya lakukan.

Dan sekarang semua dimulai dari awal. Sebenarnya saya excited. Ummu Alma juga mengajarkan dengan sabar dan menyenangkan. Tapi entah kenapa, setiap pergi tahsin, sebagian hati rasanya malas untuk bergerak. Sebagian hati sangat ingin berangkat. Dan yang lebih berat, setiap pelajaran tahsin dimulai, kantuk dengan segera menyerang. Tidak hanya menguap berkali-kali, seringkali saya tertidur. Benar-benar tertidur. Tapi tak lama. Mungkin hanya semenit atau dua menit. Saya tidak tahu, apakah Ummi Alma dan teman-teman lain mengetahuinya tapi diam saja atau benar-benar tidak tahu. Selama proses belajar itu, saya bisa tertidur 2 sampai 3 kali. Saya sungguh kesal kepada diri ini. Padahal kalau di rumah atau sedang melaksanakan kegiatan lainnya, jam-jam segini saya tidak mengantuk. Lagi segar-segarnya malah. Tapi kenapa setiap tahsin selalu mengantuk?

Saya tinjau diri ini, apakah kekurangan motivasi? Rasanya tidak. Saya ingin menamatkan pelajaran tahsin ini sampai tuntas. Sampai syahadah. Sebenarnya saya sudah mulai belajar tahsin dari anakku yang tertua, Muthi, kelas 1 SD. Gurunya berganti-ganti. Ada yang pindah, ada yang dapat beasiswa ke Turki dan lain-lain. Jadi selalu putus di tengah jalan. Dengan guru yang sekarang, saya sangat sreg. Dan ingin sekali menyelesaikannya.

Kadang rasanya ingin merugyah diri ini. Jangan-jangan ada jin di dalamnya yang tidak rela saya memperdalam Al qur’an. Hehee…

Kemudian saya teringat tahun 2006 ketika saya menekadkan diri untuk belajar menyetir mobil. Ketika itu kami tinggal di Bogor sedangkan suami bekerja di Jakarta. Sebelum subuh dia sudah berangkat. Dan kembali ke rumah sekitar jam 10 malam. Dan di jam-jam dia bekerja, benar- benar semua urusan saya yang menangani. Seperti misalnya, ketika anak sakit dan perlu ke dokter dengan segera, saya tidak bisa meminta bantuannya. Saat ini saya telpon memintanya pulang, maka empat jam kemudian dia baru sampai di Bogor. Karena jarak yang jauh, harus menunggu bis, bis ngetem dulu, nunggu angkot, angkot ngetem dulu, belum ditambah macet. Ampuunn….saya sampai kering menunggunya.

Apalagi ketika saya mau melahirkan anak ke 4. Jam 11 siang tanda melahirkan sudah ada. Flek sudah keluar. Kontraksi sudah mulai terasa. Saya segera menelpon suami untuk memintanya  pulang. Karena tidak mungkin menunggu, maka sayapun ke rumah sakit diantar oleh tetangga. Dan taraaa… si Ayahpun sampai di rumah sakit jam 5 sore! Enam jam dari telepon saya kepadanya.

Belajar dari itu, saya bertekad belajar menyetir supaya saya tidak selalu merepotkan tetangga kalau ada kejadian darurat seperti anak sakit atau lainnya.

Belajar menyetir sih…gampang. Seminggu saya sudah lancar. Tapi begitu masa belajar selesai dan saya harus membawa mobil tanpa didampingi coach, di situlah saya selalu keringat dingin ketika akan membawa mobil. Apalagi kalau yang harus saya lewati adalah daerah macet atau rel perlintasan kereta api. Wuidiih…perut langsung melilit. Kalau sudah begitu badan langsung terasa lemas. Rasanya ingin segera meletakkan kunci mobil dan goleran di kasur. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya selalu memotivasi diri. ‘Saya harus bisa untuk anak’.

Selama proses melancarkan ini, saya setiap hari menyetir ke jalan raya. Meskipun kadang perut melilit akibat stres tinggi itu, membuat saya benar-benar ke belakang. Yang sekeluarnya dari toilet badan benar-benar lemas dan keringat dingin mengucur deras, sehingga desakan dari dalam diri untuk libur menyetir hari itu semakin kuat. Tapi saya malah semakin bertekad bahwa saya tidak boleh libur. Saya harus bisa untuk anak. Kalau hari ini saya kalah oleh mules dan keringat dingin ini, maka besok-besok saya akan kalah terus. Begitu saya menyemangati diri.

Setelah tepat 2 bulan, saya merasa lelah juga. Dan malamnya saya mengeluh kepada suami, “kenapa ya, mules dan keringat dingin ketika akan bawa mobil itu nggak pernah hilang?”.

Ternyata jawaban suami simpel saja, bahwa itu semua tergantung saya, kapan saya merasa siap untuk membawa mobil itu. Jadi bukan adanya paksaan. Saya termenung. Apa saya selama ini merasa terpaksa? Apa saya memang belum siap membawa mobil?

Keesokan harinya, ketika saya akan membawa mobil kembali, saya tidak lagi memikirkan saya harus bisa untuk anak. Saya ingatkan diri saya bahwa saya membawa mobil ini karena saya ingin dan saya suka. Dan semoga ini menjadi amal bagi saya. Ajaib…. Tiba-tiba perasaan saya menjadi rileks. Dan untuk pertama kalinya si mulas dan si keringat dingin tak menghampiriku. Alhamdulillah... Hari itu saya menikmati membawa mobil keliling kota Bogor dengan hati riang dan perasaan yang santai. Juga hari-hari selanjutnya.

Kembali ke belajar tahsin.

Saya telisik lagi hati saya. Apakah motivasi saya? Dan apa yang membuat saya agak malas belajar tahsin?

Kalau motivasi, rasanya sudah cukup kuat. Saya sangat ingin menamatkan belajar Al Qur’an. Saya ingin bisa. Al Qur’an sesuatu yang indah. Kemudian halangannya saya list. Di antaranya : Saya masuk belakangan, yang lain sudah lebih lama dari saya, saya sepertinya yang tertua di kelas ini bahkan lebih tua dari sang guru, saya sebelumnya tidak kenal atau ada yang kenal tapi tak akrab, dengan anggota kelas tahsin, sehingga kurang nyaman. Hhmmm…apalagi ya? Mungkin saya merasa kehilangan waktu pagi saya yang cerah yang biasanya saya isi dengan kegiatan-kegiatan yang saya sukai.

Ternyata semua halangannya adalah hal-hal yang remeh temeh. Masak hal-hal remeh ini akan menghalangi saya dari syurga? Menghalangi saya dari syafaat Al Qur’an di mana ketika di akhirat nanti saya sangat butuh? Menghalangi saya dari ridho Allah? Di saat nikmat Allah sudah banyak diberikan kepada saya dan saya lebih memperdulikan yang remeh temeh ini dari pada mempelajari kalamNya? Sungguh terlalu….

Berangkat dari kesadaran ini, bahwa selama ini saya berangkat dengan adanya paksaan untuk ‘belajar supaya bisa’, tapi halangannya saya biarkan bercokol di hati dan menimbulkan rasa ogah-ogahan, maka hari ini saya berangkat dengan semangat baru. Saya ingin mencari ridho Allah. Saya ingin mendapatkan syafaat kelak. Dan ajaib…ternyata selama belajar hari ini saya tidak mengantuk. Tidak ada tertidur sama sekali. Saya bersemangat. Allahu Akbar. Luar biasa!

Ternyata, bagi saya, belajar tahsin dan belajar menyetir  memiliki kesamaan. Meskipun motivasi kuat tapi dalam diri ada rasa terpaksa atau halangan yang dibiarkan mempengaruhi perasaan, maka proses belajar menjadi tersendat. Hilangkan halangan itu. Salah satunya mungkin dengan ikhlas menjalani proses belajar dan niatkan semata mencari mencari ridho Allah. Insya Allah….semua menjadi lebih mudah.

Karawang, 9 Oktober 2017
Powered by Blogger.