Siapapun tahu belajar tahsin pasti berbeda dengan belajar nyetir. Yang
satu belajar membaca Al Qur’an dengan benar sebagaimana bacaan Rasulullah SAW
dan para sahabatnya RA dengan cara mempelajari:
1. Mengeluarkan huruf dari makhrajnya (tempat keluarnya) =
makhorijul huruf.
2. Memenuhi sifatnya (sifatul huruf).
3. Memperhatikan hukum bacaan
Sedangkan belajar nyetir adalah belajar cara mengendarai
mobil. Sebuah moda transportasi yang
jaman sekarang bukan lagi barang mewah. Tapi sudah kebutuhan terutama bagi yang
mobilitasnya tinggi.
Entah kenapa, bagiku terasa sama.
Sebenarnya saya bukannya tidak bisa mengaji. Saya cukup
lancar dan fasih membaca Al Qur’an. Tapi makhrojul huruf dengan tajwid-tajwidnya
juga tanda baca Al qur’an, saya tidak sempurna mengetahuinya. Sehingga diumur
yang sudah 45 tahun ini saya tergerak untuk lebih mendalaminya. Maka sayapun
ikut kelas tahsin dengan ummu Alma.
Ternyata memang, banyak yang harus saya perbaiki dari
pengucapan huruf-hurufnya. Belum lagi tajwid. Ternyata yang saya pelajari
ketika TPA dulu masih kurang. Yaa…mungkin yang saya pelajari memang sesuai
dengan tingkatan TPA. Harusnya saya melanjutkannya ke DTA. Tapi itu dulu tak saya lakukan.
Dan sekarang semua dimulai dari awal. Sebenarnya saya
excited. Ummu Alma juga mengajarkan dengan sabar dan menyenangkan. Tapi entah
kenapa, setiap pergi tahsin, sebagian hati rasanya malas untuk bergerak. Sebagian
hati sangat ingin berangkat. Dan yang lebih berat, setiap pelajaran tahsin
dimulai, kantuk dengan segera menyerang. Tidak hanya menguap berkali-kali,
seringkali saya tertidur. Benar-benar tertidur. Tapi tak lama. Mungkin hanya
semenit atau dua menit. Saya tidak tahu, apakah Ummi Alma dan teman-teman lain
mengetahuinya tapi diam saja atau benar-benar tidak tahu. Selama proses belajar itu, saya bisa tertidur 2 sampai 3 kali. Saya sungguh kesal
kepada diri ini. Padahal kalau di rumah atau sedang melaksanakan kegiatan
lainnya, jam-jam segini saya tidak mengantuk. Lagi segar-segarnya malah. Tapi kenapa
setiap tahsin selalu mengantuk?
Saya tinjau diri ini, apakah kekurangan motivasi? Rasanya tidak.
Saya ingin menamatkan pelajaran tahsin ini sampai tuntas. Sampai syahadah. Sebenarnya
saya sudah mulai belajar tahsin dari anakku yang tertua, Muthi, kelas 1 SD. Gurunya
berganti-ganti. Ada yang pindah, ada yang dapat beasiswa ke Turki dan
lain-lain. Jadi selalu putus di tengah jalan. Dengan guru yang sekarang, saya
sangat sreg. Dan ingin sekali menyelesaikannya.
Kadang rasanya ingin merugyah diri ini. Jangan-jangan ada
jin di dalamnya yang tidak rela saya memperdalam Al qur’an. Hehee…
Kemudian saya teringat tahun 2006 ketika saya menekadkan
diri untuk belajar menyetir mobil. Ketika itu kami tinggal di Bogor sedangkan
suami bekerja di Jakarta. Sebelum subuh dia sudah berangkat. Dan kembali ke
rumah sekitar jam 10 malam. Dan di jam-jam dia bekerja, benar- benar semua
urusan saya yang menangani. Seperti misalnya, ketika anak sakit dan perlu
ke dokter dengan segera, saya tidak bisa meminta bantuannya. Saat ini saya telpon
memintanya pulang, maka empat jam kemudian dia baru sampai di Bogor. Karena jarak
yang jauh, harus menunggu bis, bis ngetem dulu, nunggu angkot, angkot ngetem
dulu, belum ditambah macet. Ampuunn….saya sampai kering menunggunya.
Apalagi ketika saya mau melahirkan anak ke 4. Jam 11 siang
tanda melahirkan sudah ada. Flek sudah keluar. Kontraksi sudah mulai terasa. Saya
segera menelpon suami untuk memintanya
pulang. Karena tidak mungkin menunggu, maka sayapun ke rumah sakit
diantar oleh tetangga. Dan taraaa… si Ayahpun sampai di rumah sakit jam 5 sore!
Enam jam dari telepon saya kepadanya.
Belajar dari itu, saya bertekad belajar menyetir supaya saya
tidak selalu merepotkan tetangga kalau ada kejadian darurat seperti anak sakit
atau lainnya.
Belajar menyetir sih…gampang. Seminggu saya sudah lancar. Tapi
begitu masa belajar selesai dan saya harus membawa mobil tanpa didampingi
coach, di situlah saya selalu keringat dingin ketika akan membawa mobil. Apalagi
kalau yang harus saya lewati adalah daerah macet atau rel perlintasan kereta
api. Wuidiih…perut langsung melilit. Kalau sudah begitu badan langsung terasa
lemas. Rasanya ingin segera meletakkan kunci mobil dan goleran di kasur. Tapi itu
tidak saya lakukan. Saya selalu memotivasi diri. ‘Saya harus bisa untuk anak’.
Selama proses melancarkan ini, saya setiap hari menyetir ke
jalan raya. Meskipun kadang perut melilit akibat stres tinggi itu, membuat saya
benar-benar ke belakang. Yang sekeluarnya dari toilet badan benar-benar lemas
dan keringat dingin mengucur deras, sehingga desakan dari dalam diri untuk libur menyetir hari
itu semakin kuat. Tapi saya malah semakin bertekad bahwa saya tidak boleh
libur. Saya harus bisa untuk anak. Kalau hari ini saya kalah oleh mules dan
keringat dingin ini, maka besok-besok saya akan kalah terus. Begitu saya
menyemangati diri.
Setelah tepat 2 bulan, saya merasa lelah juga. Dan malamnya
saya mengeluh kepada suami, “kenapa ya, mules dan keringat dingin ketika akan
bawa mobil itu nggak pernah hilang?”.
Ternyata jawaban suami simpel saja, bahwa itu semua
tergantung saya, kapan saya merasa siap untuk membawa mobil itu. Jadi bukan adanya paksaan. Saya termenung. Apa saya selama ini merasa terpaksa? Apa saya memang
belum siap membawa mobil?
Keesokan harinya, ketika saya akan membawa mobil kembali,
saya tidak lagi memikirkan saya harus bisa untuk anak. Saya ingatkan diri saya bahwa saya membawa mobil ini karena saya ingin dan saya suka. Dan semoga ini menjadi amal bagi saya. Ajaib….
Tiba-tiba perasaan saya menjadi rileks. Dan untuk pertama kalinya si mulas dan
si keringat dingin tak menghampiriku. Alhamdulillah... Hari itu saya menikmati
membawa mobil keliling kota Bogor dengan hati riang dan perasaan yang santai. Juga
hari-hari selanjutnya.
Kembali ke belajar tahsin.
Saya telisik lagi hati saya. Apakah motivasi saya? Dan apa
yang membuat saya agak malas belajar tahsin?
Kalau motivasi, rasanya sudah cukup kuat. Saya sangat ingin
menamatkan belajar Al Qur’an. Saya ingin bisa. Al Qur’an sesuatu yang indah. Kemudian
halangannya saya list. Di antaranya : Saya masuk belakangan, yang lain sudah lebih lama dari
saya, saya sepertinya yang tertua di kelas ini bahkan lebih tua dari sang guru,
saya sebelumnya tidak kenal atau ada yang kenal tapi tak akrab, dengan anggota
kelas tahsin, sehingga kurang nyaman. Hhmmm…apalagi ya? Mungkin saya merasa
kehilangan waktu pagi saya yang cerah yang biasanya saya isi dengan kegiatan-kegiatan
yang saya sukai.
Ternyata semua halangannya adalah hal-hal yang remeh temeh. Masak
hal-hal remeh ini akan menghalangi saya dari syurga? Menghalangi saya dari
syafaat Al Qur’an di mana ketika di akhirat nanti saya sangat butuh? Menghalangi
saya dari ridho Allah? Di saat nikmat Allah sudah banyak diberikan kepada saya
dan saya lebih memperdulikan yang remeh temeh ini dari pada mempelajari kalamNya?
Sungguh terlalu….
Berangkat dari kesadaran ini, bahwa selama ini saya
berangkat dengan adanya paksaan untuk ‘belajar supaya bisa’, tapi halangannya
saya biarkan bercokol di hati dan menimbulkan rasa ogah-ogahan, maka hari ini saya
berangkat dengan semangat baru. Saya ingin mencari ridho Allah. Saya ingin
mendapatkan syafaat kelak. Dan ajaib…ternyata selama belajar hari ini saya
tidak mengantuk. Tidak ada tertidur sama sekali. Saya bersemangat. Allahu Akbar. Luar biasa!
Ternyata, bagi saya, belajar tahsin dan belajar
menyetir memiliki kesamaan. Meskipun motivasi
kuat tapi dalam diri ada rasa terpaksa atau halangan yang dibiarkan
mempengaruhi perasaan, maka proses belajar menjadi tersendat. Hilangkan halangan
itu. Salah satunya mungkin dengan ikhlas menjalani proses belajar dan niatkan semata mencari mencari ridho Allah. Insya Allah….semua menjadi lebih mudah.
Karawang, 9 Oktober 2017
0 comments:
Post a Comment