Cita-cita vs ladang amal jariyah
Sepanjang perjalanan pulang dari Bogor setelah dua hari satu malam berlibur di sebuah Resort di Bogor, saya dan Annisa Muthia (anak tertuaku) yang saat ini bersekolah di sebuah SMA Boarding School, kelas 10, terlibat pembicaraan ringan.
Berbagai macam topik kami bicarakan. Dan sampailah pada topik cita-cita.
“Kalau Muthi tidak jadi dokter, gak apa-apa ya, Bu? Muthi ingin memperdalam sastra di bidang kepenulisan”. Dan iapun menjelaskan tujuan yang ingin ia capai seraya menyebutkan sebuah universitas di Tokyo, Jepang. Sedikit info, anakku Annisa Muthia ini suka menulis. Dan di usianya yang ke 16 tahun ini, dia sudah menerbitkan 4 buah buku. Dua buah kumpulan cerpen dan dua buah buku komik misteri. Karena bakatnya ini dia sudah mengikuti 2 kali Konferensi Penulis Cilik se- Indonesia, 2 tahun berturut-turut serta pernah 2 kali mengikuti youth camp di Luar Negeri disebabkan bakatnya itu.
Dulu, ia ingin menjadi dokter. Karena ia sangat berminat dengan pelajaran yang berhubungan dengan biologi. Dan cita-cita itu makin kuat ketika saya menderita diabetes. Dia ingin menjadi dokter peneliti yang akan menemukan obat untuk membuat pankreas bisa menghasilkan insulin kembali. Hmmm….
Tapi hari ini ia membicarakan perubahan cita-citanya. Oh..it’s okay, honey.
Dan si emak pun mendadak menjadi sok bijaksana.
“Bagi Ibu tidak masalah, Muthi. Muthi bebas menjadi apapun yang Muthi inginkan. Asalkan ilmu yang akan Muthi dapatkan kelak bermanfaat bagi diri Muthi dan Umat. Hendaknya ilmu yang Muthi dapatkan itu bisa menjadi ladang amal jariyah bagi Muthi. Menulis itu bagus, karena menulis itu ikut membentuk peradaban. Setiap ilmu yang ditulis dan dibaca serta diamalkan orang, itulah amal jariyah penulisnya.
Dan emakpun berkisah.
“Dulu Ibu kuliah di bidang teknik. Setelah lulus, ibu bekerja. Dan berhenti ketika menikah. Saat Muthi kelas 3 SD, karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan Ibu, Ibu ditawari menjadi guru IT di sebuah SDIT. Tapi ayah tidak mengizinkan dengan alasan kalian masih kecil-kecil. Jadinya sekarang Ibu tidak memiliki ladang amal jariyah.”
Dan apa yang dilakukan Muthi?
Dengan wajah penuh kasih, ia memegang tanganku sambil berkata,
“Membesarkan dan mendidik kami, itu adalah ladang amal jariyah Ibu”
Hening…..
Saya tak dapat berkata-kata. Seakan-akan saya sedang dilontarkan ke surga oleh ucapannya. Perasaan yang tadi ‘saya bukan siapa-siapa’, tiba-tiba menjadi ‘saya sangat berarti’.
Ternyata bukan dia yang membutuhkan dukungan, justru saya yang butuh itu. Ternyata bukan kita orang tua yang membuat mereka bisa hebat, tapi kehadiran mereka yang membuat kita merasa hebat. Bukan kita yang menguatkan mereka tapi kehadiran mereka yang membuat kita harus kuat.
Saya lupa dengan hakikat ladang amal yang sesungguhnya karena terlalu jauh melihat ke luar. Saya lupa karena mata dan pikiran disilaukan oleh dunia modern dan segala rupa jenis pekerjaan.
Menjadi ibu rumah tangga, seakan terlihat tak keren. Berbaju
dinas daster lusuh, peralatan kerja tak jauh dari peralatan masak, mesin cuci,
setrikaan, kain pel, dan ruang lingkup kerja hanya seputaran rumah dan halaman.
Badanpun seringkali tak wangi.
Berbeda sekali dengan wanita bekerja. Mereka terlihat sangat
kinclong dengan baju yang rapi dan indah serta wangi, bertemu banyak orang, selalu
up to date dengan berbagai isu dan berita terbaru, kadang bepergian ke berbagai
kota bahkan luar negeri. Dan tentu saja memiliki uang sendiri.
Sehingga kondisi ini kadang menimbulkan suatu perasaan
rendah diri bagi seorang perempuan dengan status ibu rumah tangga. Tak heran
kalau ada reuni sekolah seorang ibu rumah tangga lebih nyaman bergabung dengan sesama
ibu rumah tangga juga.
Padahal, menjadi ibu rumah tangga adalah suatu pilihan. Dan
Masya Allah, betapa mulianya ibu rumah tangga. Seluruh waktu dan tenaganya
dicurahkan untuk mengurus keluarganya. Dituntut
banyak keahlian untuk menjadi seorang ibu rumah tangga sejati.
1.
Harus kuat karena jam
kerja 24 jam tanpa mengenal hari libur
2. Kemampuan finansial yang lebih lebat dari akuntan senior. Penghasilan yang diberikan oleh suami harus
cukup untuk biaya hidup keluarga
3.
Harus mengetahui
kebutuhan setiap anggota keluarga
4. Harus bisa mendidik
anak, karena kepribadian anak tergantung dari cara ibu mendidik anaknya
5.
Harus bisa memasak,
jadi baby sitter, jadi guru dan lain-lain
Betapa banyaknya jobdesk
seorang ibu rumah tangga. Kalau seandainya setiap jenis pekerjaan yang
dilakukanya diberikan gaji, mungkin tak akan ada lelaki yang berani mempersunting seorang wanita. Hehee…
Menjadi ibu rumah tangga full time memang suatu pilihan
yang berat. Di samping pekerjaan yang berat, tanggung jawab yang berat, perasaan rendah diri acapkali menyelinap tatkala melihat teman yang
bekerja meraih berbagai prestasi dunia. Padahal menjadi ibu rumah tangga
sejati, bisa mendidik anak menjadi anak yang sholeh adalah prestasi akhirat. Bayaran
di dunia adalah kasih sayang anak dan do’a mereka ketika kelak sang ibu telah
tiada. Sedangkan bayaran di akhirat adalah syurgaNya. Nikmat manakah yang lebih
tinggi?
Si gadis lanjut bercerita. Dengan bersekolah di sebuah
pesantren, banyak hal tentang kehidupan yang ia mengerti. Sekamar dengan 12
anak, membuat ia bisa memahami berbagai macam tipe dan latar belakang teman-temannya.
Ada yang ayahnya seorang aktivis, anggota dewan nan super
sibuk dengan ibu yang juga aktivis super sibuk, ‘menitipkan’ anaknya ke
pesantren untuk diasuh karena ketiadaan waktu mereka untuk sang anak,
menghasilkan anak yang suka memberontak dan selalu dipenuhi amarah. Tapi ada
juga yang menghasilkan anak yang apatis.
Ada juga ibu yang setiap menelpon anaknya, yang pertama
kali ditanya adalah pelajaran anaknya. Sehingga si anak stres setiap kali nilai
ulangannya turun. Ada juga anak yang sama sekali tidak nyaman mendapat telepon
dari orang tuanya karena kakunya hubungan mereka sehingga si anak tidak tau
harus berbicara apa.
Dan dari pengamatan anakku terhadap teman-temannya, dari beberapa anak-anak yang
bermasalah, sumbangan terbesar adalah dari anak yang ibunya bekerja. Yaaah...tentu ini hanya survey kecil-kecilan dari seorang anak kelas 10, di mana lingkungan surveynya adalah teman satu pesantrennya saja. Sementara di luaran sana, kita mengetahui banyak juga ibu bekerja yang sukses mendidik anak-anaknya. Dan tak sedikit pula ibu rumah tangga full time yang gagal dalam mendidik anak-anaknya. Semuanya tentu terpulang kepada diri masing-masing, sejauh mana usahanya dalam proses pendidikan anak-anaknya. Salah satu contoh wanita bekerja yang juga aktivis super sibuk tapi sukses mendidik anak-anaknya bahkan menjadi hafidz semua adalah Ustadzah Yoyoh Yusroh.
Dan kemudian si gadis berkata, ia bisa seperti ini karena saya
adalah ibu rumah tangga. Yang selalu punya waktu untuknya, mendengarkan keluh
kesahnya, mendengarkan ide-idenya, dan selalu membantu setiap kesulitannya. Dan
ia pun kelak tak ingin bekerja kantoran. Ia ingin bekerja dari rumah sambil menjadi
ibu rumah tangga seperti saya.
Karawang, 6 November 2016
Berasa banget sebagai orang tua yang anaknya mulai tumbuh remaja dan mulai banyak diskusi2 tentang cita-cita
ReplyDeletebetul banget pak...
Deletealhamdulillah diberi kesempatan oleh Allah membersamai mereka.
semoga selalu diberi sehat.