PROLOG
Bismillahirrahmanirrahiim....
Haji, adalah impian muslim sejati. Setiap muslim tentu ingin
menyempurnakan ibadahnya. Ingin menyempurnakan kelima rukun Islamnya. Tapi
karena ibadah yang satu ini memang terkait dengan dana dan fisik, maka Allah
Yang Maha Adil tidak membebani semua hambaNya. Hanya yang mampu saja yang
dibebankan Allah untuk pergi berhaji. Mampu, dalam benak kita tentu melulu
masalah uang. Begitu juga dengan diriku. Tadinyaaa…
Terlahir dari keluarga sederhana, dengan seorang ayah yang
mempunyai visi ‘anak harus lebih baik dari
orang tua’, membuat orang tuaku benar-benar berusaha sepenuh hati dan
sepenuh kemampuan untuk menjadikan kelima anaknya menjadi orang yang berilmu
dan berpendidikan. Alhamdulillaah…kami berlima berhasil menyelesaikan studi, 1
orang S2, 2 orang S1 dan 2 orang D3. Tentu tak sedikit uang yang harus
dikeluarkan oleh ayah dan ibuku, yang memang tak memiliki banyak uang.
Berhasil menyekolahkan anak sampai tingkat sarjana sudah
merupakan kebahagian yang luar biasa bagi orang tuaku. Naik haji, tentu hanya
impian yang jauh bagi mereka. Impian yang terus dipendam dan dikalahkan demi
menyekolahkan anak-anaknya.
Sampai meninggal, ayahku tidak kesampaian melaksanakan ibadah haji, Rukun Islam yang ke lima.
Mudah-mudahan kelak salah satu dari anak-anaknya bisa membadal hajikan beliau.
Aamiin.
Kemudian sayapun menikah. Sebagai keluarga baru yang sedang merintis
kehidupan dan dengan suami yang mulai merintis karir, keuangan kami ketika itu hanya
cukup untuk kebutuhan hidup dan sedikit membantu orang tua. Kadang akhir bulan
bersisa, dan terkadang malah kurang.
Ibadah hajipun hanya tergantung di impian ‘Ketika
nanti mapan….’
Aku tak berani memasang target karena sadar kemampuan ekonomi
ketika itu. Tapi aku lupa bahwa haji itu ternyata tidak hanya melulu soal uang.
Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Tak sedikit orang yang memiliki harta berlimpah
tapi tak kunjung diberi kesempatan untuk berhaji. Tapi tak sedikit pula orang
yang tak memiliki uang malah berangkat haji. Semua terjadi adalah karena
panggilan Allah. Kalau Allah sudah memanggil, semua akan dicukupkan oleh Allah.
Nah, sudah pantaskah kita untuk dipanggil Allah?
Allah Yang Maha Penyayang membuka mata hatiku ketika tahun
2006 suami mendapat hadiah dari perusahaannya untuk berangkat haji. Ketika itu
aku baru saja melahirkan anak ke empat secara caesar. Si bayi mengalami sedikit
masalah sehingga harus dirawat 9 hari di ruang perinatal dan akupun harus menjalani
operasi ulang 2 minggu kemudian karena jahitan di perut sebelah kiri lepas
sepanjang 2 cm. Dengan banyaknya cobaan ketika akan berangkat (suami berangkat
haji di hari ke 40 setelah aku melahirkan), suami ikhlas berangkat hanya dengan
mengandalkan living cost yang akan diberikan pemerintah ketika akan berangkat
haji nanti. Tapi, qadarullaah….Allah
mencukupkan kebutuhan hambaNya. TIba-tiba salah satu kerabat memberikan sangu sebesar $ 1.000.
Alhamdulillaah….
Kemudian kesadaran itu makin tertohok ketika seorang teman
bercerita. Ketika ia mengantar pamannya pergi haji, seperti jamaknya orang
Indonesia, iapun tak luput minta ‘dipanggil’ di tanah suci agar segera dapat
berhaji. Ternyata jawaban dari pamannya sederhana saja. “Sudah buat tabungan
haji belum? Niat saja tapi belum ada tindakan nyata, bagaimana Allah yakin
untuk memanggilmu? Nabung dulu. Urusan kapan cukupnya itu biar menjadi urusan
Allah.”
Jleb! Benar banget. Tunjukkan kesungguhan niat dengan
tindakan nyata. Urusan kapan cukupnya biarlah menjadi urusan Allah Ta’ala yang Maha
Kaya.
Karena urusan kepindahan domisili dari Bogor ke Karawang yang
disebabkan suami pindah tugas, serta merenovasi rumah, akhirnya baru di tahun
2009, kami baru bisa membuat tabungan haji di salah satu bank Syariah. Tak lupa
setiap bulan kuisi seberapa mampu. Dan memang Allah Maha Kaya, dalam tempo kurang
dari 2 tahun, tak disangka ternyata uangnya cukup untuk mendaftar haji aku dan
suami. Padahal kalau menilik penghasilan suami ketika itu, tak mampu kami
menabung sebanyak itu dalam tempo kurang dari 2 tahun. Allahu Akbar! Menabunglah.
Dan biarkanlah Allah Yang Maha Kaya mencukupkannya dengan jalan yang tak
disangka-sangka.
Akhirnya setelah menunggu sekitar 4 tahun, undangan dari
Allahpun tiba. Saya ingat, ketika pertama kali melihat daftar nama calon jamaah
Haji 2015 yang akan menjalani pemeriksaan kesehatan di puskesmas desa Wadas,
Karawang, rasa cemas melanda. Khawatirnya melebihi ketika melihat pengumuman
kelulusan sekolah. Kalau sekolah, saya yakin lulus. Tapi haji, saya khawatir
tidak jadi ikut karena terkena pemotongan kuota haji. Begitu namaku dan nama
suami tertera jelas di lembar pengumuman yang tertempel di puskesmas itu,
rasanya badan jadi lemas karena rasa lega dan bahagia. Rasa syukur membumbung.
Al-hamdu lillaah wa syukru lillaah. Akhirnya, Engkau panggil kami ya Allah…
Persiapan-persiapanpun mulai dilakukan. Baik itu bimbingan
manasik, latihan fisik, persiapan mental, hafalan do’a dan lain-lain. Tapi
tetap saja menjelang keberangkatan persiapan rasanya masih saja kurang.
Bagiku ini adalah ibadah Haji yang pertama. Belum pernah jadi
belum tau. Jadi banyak hal yang kukhawatirkan. Apakah ibadahku di sana lancar?
Apakah ibadah Hajiku akan diterima Allah? Apakah hajiku mabrur? Apakah aku di
sana akan mendapat kemudahan atau cobaan? Apakah aku bisa menjaga lisan, hati
terutama lidah dari berkomentar yang tidak pantas? Bisakahku menahan diri dari
Rafats, Fusuq dan Jidal? Apakah anak-anak di rumah akan baik-baik saja? Apakah
mereka tidak akan bertengkar? Menyakiti atau disakiti?
Berbeda dengan suami yang pernah berhaji, walau Haji ABIDIN (Haji
Atas BIaya DINas), hehee..... Sehingga ia bisa ‘cool’ menghadapi haji kali ini. Kemudian suami menasehatiku,
“Ikhlaskan saja semua
kepada Allah. Kalau Allah sudah mengundang kita maka Allah pula yang akan
menyelesaikan semua persoalan kita”.
Aamiin Yaa Rabb al- ‘aalamiin.
Teringat kata Pak
Ustad Yono, pembimbing hajiku, syarat untuk meraih haji MABRUR itu adalah :
1. Niat yang IKHLAS
2. Berbekal TAQWA
3. Berhaji sesuai SUNNAH RASULULLAH SAW
Ibadah Haji memang bukan ibadah biasa. Sebuah ibadah bagi
yang ‘mampu’. Mampu secara fisik (sehat), mampu secara finansial (keuangan) dan
keamanan (aman dari gangguan). Dan kalau Allah sudah ‘mengundang’, maka semua
hal itu insya Allah, akan dimampukan oleh Allah Ta’ala.
Alhamdulillah, beban pikiran rasanya berkurang. Dukungan dan
do’a dari sanak saudara, teman, tetangga bahkan dari guru sekolah anak-anak
berdatangan. Ibupun sudah datang dari Padang untuk menjaga anak-anak. Sungguh
menguatkan hati.
Dengan membaca Bismillaahhirrahmaanirrahiim, dan memohon
pertolongan Allah Yang maha Kuasa, kumulai perjalanan ibadah yang luar biasa
ini. Perjalanan ibadah haji
yang memakan waktu 40 hari ini, dengan segala rintangan dan tantangannya,
kutuliskan untuk menjadi ibroh, khususnya bagi diriku.