Suka duka dengan tenaga paramedis


Alyssa menjelang operasi amandel

Saat ini rasanya jarang sekali ada orang yang tak bersentuhan dengan rumah sakit. Entah anaknya yang sakit, saudaranya, tetangganya, orang tuanya, atau mungkin dirinya sendiri. Sakitnya entah karena suatu musabab, atau tanpa sebab. Tiba-tiba sakit aja.
Saya sebenarnya agak jarang sakit. Sekalinya sakit langsung operasi. Operasi amandel, operasi sinus, operasi sectio. Tapi begitu punya anak (empat orang) jadi rajin ke rumah sakit (duluuu…lho😊). Gantian saja yang sakit. Dari yang awalnya tidak mengerti dengan prosedur rumah sakit, sampai hafal nama-nama obat berikut sedikit istilah-istilah kedokteran.
Meskipun sebenarnya tak terlalu menyukai rumah sakit (ya…iyalah, siapa juga yang mau sakit?), tapi mau tak mau kita bergaul juga dengan rumah sakit. Karena rumah sakit salah satu alternatif berobat ketika kita sakit agak berat. Datangnya lemas tak bertenaga, remuk redam rasa badan, setelah perawatan 3-4, insya Allah kita bisa pulang dengan tersenyum. Itu sebelum melihat tagihannya lho…😁
Jadi di sarankan, biar suami saja yang melihat tagihan dan membayarnya. Emak-emak biar melihat tagihan belanja. Makin mahal makin senang. 😜
Berurusan dengan rumah sakit tentu pernah mengalami duka. Wajah-wajah tenaga paramedis di rumah sakit kadang tak bersahabat dan jarang melempar senyum. Mungkin mereka lelah, mungkin juga krn sudah rutinitasnya berhadapan dg penderitaan pasien shg mereka sdh imun dg segala kepedihan sehingga empatinya terhadap pasien sedikit tergerus. Padahal senyum mereka adalah obat yang pertama bagi pasien dan keluarganya.
Dijutekin, berwajah masam, tidak dipercaya, diremehkan, itu adalah bagian yang pernah saya alami. Sedih ya? Kalau teman-teman tidak pernah mengalaminya, selamat! Berarti anda horang kayah. 😁 Selalu mendapat perlakuan premium.  

Sehari sebelum Sayyid operasi pemasangan alat ASO di jantungnya yang bocor

Pernah, ketika Sayyid berumur 3 tahun (11 th yang lalu) tanpa sepengetahuan saya dia memanjat mobil dan naik sampai ke atas atap mobil. Kemudian ia terjatuh dari atap, menggelinding lewat kaca depan, terus ke kap mobil dan jatuh ke lantai. Awalnya dia diam, tangannya kaku (sepertinya menahan sakit yang sangat), setelah saya peluk barulah dia menangis. Dan akhirnya muntah. Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan, sayapun melarikannya ke UGD rumah sakit terdekat.
Di UGD, setelah di cek oleh dokter jaga dan disarankan untuk observasi, datanglah petugas administrasi. Setelah mengisi form, petugas itu bertanya, di sela-sela tangisan Sayyid. 
“Mau kamar kelas berapa bu?”
“Kelas 1,” jawab saya.
“Maaf bu, biasanya kalau karyawan T***** kelas 2 bu.”
“Saya kelas 1.”
“Baik bu,”

Ia pun berlalu, pergi ke ruang administrasi. Tak lama kemudian ia balik lagi.
“Bu, kalau T***** itu biasanya kelas 2”
“Saya kelas 1.”
“Kalau seandainya ibu kelas 2, berarti segala kelebihan pembayaran ibu yang menanggung ya?”
“Iya,” jawab saya mulai kesal.

Saya repot menggendong dan membujuk Sayyid yang terus menangis, sementara ia repot dengan urusan kelas. Saya pikir setelah kedatangan yang kedua, sudah selesai. Tapi, innalillahi…. tak lama ia pun balik lagi.
“Maaf bu, kalau seandainya jatah ibu kelas 2 dan ibu mengambil kelas 1, segala kelebihan pembayaran ibu harus bayar ya?”
Emosi saya pun naik. 
“Mas, penentuan kelas itu ada aturannya. dan kami di kelas 1,” jawab saya dengan suara meninggi.

Dan ia pun akhirnya pergi tak pernah kembali. Sampai Sayyid pulang keesokan harinya. Sayonara…
Pernah juga saya ke rumah sakit membawa Muthi. Sistem sudah berubah. Kalau dulu cukup dengan tanda tangan, sekarang dengan menggunakan kartu asuransi. Ketika kartu asuransi dari kantor suami saya ajukan, petugasnya bilang,
“Bu, kartu asuransi ini berlaku hanya untuk rawat inap”
“Kalau yang ini bisa buat rawat jalan mba,” jawab saya sambil senyum maniiiiis….sekali. Plus ramah.
“Nggak bu. Kartu ini hanya berlaku buat rawat inap.”
“Silahkan di cek mba, kartu ini juga bisa buat rawat jalan,” jawab saya masih ramah.
Ehh…dia yang jengkel. Nadanya mulai meninggi,”
“Ibu, kartu asuransi yang dari T***** hanya bisa buat rawat inap.”
“Kalau gak percaya, silahkan di cek mba. Yang ini bisa rawat jalan,” jawab saya dengan tensi yang mulai meninggi. Dua kali minta di cek, tak juga ia gubris. Eeh…dia malah tambah ngotot.
“Enggak bu. Kartu ini hanya bisa buat rawat jalan.”
Kesabaran saya pun habis.
“Astaghfirullaah….tolong di cek!” Kalimat bentakan pun keluar dari mulut saya.

Akhirnya dia bertanya kepada rekannya satu ruangan apakah kartu asuransi saya bisa menanggung rawat jalan. Sang rekan menjawab singkat,
“Sebagian ada juga yang rawat jalannya di cover”

Setelah dia cek ternyata memang kartu asuransi yang saya ajukan bisa mengcover rawat jalan. Dan ketika ia melanjutkan proses input data, tak lupa saya skak sedikit,
“Makanya mba, jangan ngotot dulu. Di cek aja. Ternyata bisa kan?”

Wajah polos begini dikira bohong. Hadeuuuh…😅
Itu masalah tak dipercaya. Belum lagi pelecehan berupa meremehkan.

Sayyid di ruang operasi. Sesaat akan menjalani operasi jantung

Dulu ketika Sayyid hendak operasi jantungnya yang bocor, saya harus pergi ke ruangan asisten dokter jantung untuk meminta jadwal operasi. Kantor sang asisten ada di gedung lain dan terletak di lantai 4. Setelah nyasar beberapa kali (waktu itu belum ada google map☺️), akhirnya sampai juga. Begitu pintu saya ketuk, muncullah wajah sang asisten. Pintu hanya di buka sedikit, selebar badannya saja. Sambil berdiri di pintu dengan wajah datar tanpa senyum ia bertanya keperluan saya. Begitu saya serahkan surat pengantar dari dokter jantung, ia pun bertanya dengan “kejam”,
“Pembayarannya pakai apa?”
Duh…Gusti. Tak ada ramah-ramahnya. Tak ada senyum sedikitpun. Seakan-akan saya makhluk kere yang tak akan sanggup membiayai operasi mahal itu (padahal iya😂). Ketika saya jawab asuransi. Alisnya naik. Kemudian buru-buru saya tambahkan “asuransi dari T*****”.
Ajaib. Seketika ada seulas senyum samar di wajahnya. Pintupun dia buka lebar. Dan sayapun dipersilahkan masuk ke ruangannya yang luas tapi agak berantakan itu dengan bahasa yang mulai ramah.
Hati saya perih. Bagaimana kalau yang datang orang-orang susah apalagi dengan menggunakan asuransi pemerintah. Mungkin perlakuan yang mereka terima lebih menyayat hati. Padahal sudah seharusnya ia bersikap sopan, menyilahkan tamu masuk dan baru bertanya apa keperluannya. Ingat, gaji yang ia terima adalah hasil keringat para pasien.
Masih tentang Sayyid. Ketika ia berumur setahun, ia sering sekali BAB. Bisa 3-4 kali dalam sehari. Dan banyak. Badannya yang tadinya montok, perlahan-lahan mulai mengurus. Hati langsung merasa ada yang tak beres. Saya bawa ke dokter pertama. Beliau menganjurkan cek feces. Setelah hasilnya di dapat, beliau meresepkan obat. Sampai obatnya habis, tak ada perubahan. BABnya tetap sering dan banyak. Saya pindah ke dokter kedua, kembali cek feces dan diberi obat. Tak ada jua perubahan. Saya pindah ke dokter ketiga. Sama. Tak ada perubahan. Saya pindah ke dokter ke empat. Masih sama. Total saya sudah melakukan empat kali cek feces ke rumah sakit yang sama dengan petugas laboratorium yang sama.
Kemudian saya pindah ke dokter yang ke 5. Dokter ini meminta pemeriksaan yang lebih mendalam, feces analysis. Ketika saya bawa feces Sayyid ke rumah sakit itu dan lagi-lagi berjumpa dengan petugas yang sama. Ia pun sudah mengenali saya. Ketika ia membaca surat pengantar dari dokter, ia pun berkata dengan wajah yang gimana gitu...,
“Wah bu…kalau feces analysis ini mahal dibandingkan cek feces.”

Pengobatan yang sudah berbulan belum menunjukkan hasil serta mondar-mandir rumah sakit dan tempat praktek dokter, membuat saya lelah raga serta pikiran ini langsung tersulut mendengar perkataan yang menurut saya merendahkan itu. Dengan emosi saya pun berkata,
“Berapa biayanya? Saya TIDAK AKAN menawar !”
Ia pun langsung ngibrit ke dalam setelah menyebut angkanya.
Singkat cerita, lewat rekomendasi dokter ke 5 ini, akhirnya sayyid dirujuk ke RSCM dan bertemu seorang profesor di bidang gastrologi (pencernaan). Ternyata penyakit Sayyid adalah alergi parah terhadap susu sapi dan turunannya (keju, youghurt), kedelai dan turunannya (susu kedelai, tahu, tempe, kecap) serta kuning telur. Setelah menggunakan metoda eliminasi selama 2 tahun, lanjut dengan provokasi-eliminasi selama 6 bulan,akhirnya imun Sayyid terhadap makanan tersebut terbentuk. Alhamdulillah. 

menunggu siuman setelah selesai pemasangan alat ASO di jantung Sayyid

*****
Kembali ke laptop. Walau mendapat beberapa kali ‘penganiayaan bathin’ (😆😆) oleh paramedis, tapi saya tak kapok. Saya maklum. Mereka manusia juga seperti saya. Kadang bisa baik, kadang juga bisa mengeluarkan tanduk amarah. Mari berlapang dada saja. Saling memudahkan. Saling memaafkan.

Saya tak tahu apakah mereka sebelum bekerja mendapat training adab sopan santun entah tidak, tapi saya berharap paramedis di Indonesia lebih baik dan lebih ramah dalam bekerja. Karena tak hanya fisik yang sakit, bathin pasien dan keluarganya justru lebih rentan sakit. Mari memanusiakan manusia tanpa memandang harta dan jabatan. Tapi pandanglah, mereka juga manusia seperti kita.
Pengalaman terbaru minggu lalu, ketika kami membawa Muthi berobat ke sebuah rumah sakit. Ketika ayahnya memberikan kartu asuransi, petugasnya berkata,
“Maaf pak, kartu ini hanya untuk rawat inap.”
“Ini bisa buat rawat jalan. Coba aja dulu,” Kata si ayah.
“Oh…gitu. Eehh…Bapak direktur ya?” jawabnya sambil tersenyum ramah.
“Bukaan…,” kata si ayah.
“Ahh…Bapak pasti direktur,” tanyanya lagi.
“Bukan ahh…saya pegawai biasa,” kata si ayah.

Muthi langsung berbisik, 
“Ibu dulu gak dipercaya sama rumah sakit. Mungkin gaya ibu yang terlalu sederhana. Coba ibu dandan agak menor dikit, pakai gelang berderet sampai ke lengan, pakai kalung yang panjangnya sampai ke pusar, pasti deh mereka percaya.”

Kamipun tertawa. Muthi merasa lucu dengan candaannya, saya merasa ngenes. Nasib…nasib…😎
****
Upss…si gadis mungilku tak tersebut dalam berita. Si ayah suka protes kalau si bungsunya tak disinggung. Hmm…si mungilku ini yang mulai beranjak abg, walau kelahirannya bermasalah tapi alhamdulillah, selama dalam proses menumbuh dan membesar, saya tak pernah bermasalah dengan tenaga paramedis di rumah sakit manapun. Aman tentram terkendali seperti sifatnya yang enjoy.😍😍


Karawang, 3 November 2018
Powered by Blogger.