Catatan Perjalanan Haji 2015


PROLOG

Bismillahirrahmanirrahiim....

Haji, adalah impian muslim sejati. Setiap muslim tentu ingin menyempurnakan ibadahnya. Ingin menyempurnakan kelima rukun Islamnya. Tapi karena ibadah yang satu ini memang terkait dengan dana dan fisik, maka Allah Yang Maha Adil tidak membebani semua hambaNya. Hanya yang mampu saja yang dibebankan Allah untuk pergi berhaji. Mampu, dalam benak kita tentu melulu masalah uang. Begitu juga dengan diriku. Tadinyaaa…

Terlahir dari keluarga sederhana, dengan seorang ayah yang mempunyai visi ‘anak harus lebih baik dari orang tua’, membuat orang tuaku benar-benar berusaha sepenuh hati dan sepenuh kemampuan untuk menjadikan kelima anaknya menjadi orang yang berilmu dan berpendidikan. Alhamdulillaah…kami berlima berhasil menyelesaikan studi, 1 orang S2, 2 orang S1 dan 2 orang D3. Tentu tak sedikit uang yang harus dikeluarkan oleh ayah dan ibuku, yang memang tak memiliki banyak uang.

Berhasil menyekolahkan anak sampai tingkat sarjana sudah merupakan kebahagian yang luar biasa bagi orang tuaku. Naik haji, tentu hanya impian yang jauh bagi mereka. Impian yang terus dipendam dan dikalahkan demi menyekolahkan anak-anaknya.

Sampai meninggal, ayahku tidak kesampaian melaksanakan ibadah haji, Rukun Islam yang ke lima. Mudah-mudahan kelak salah satu dari anak-anaknya bisa membadal hajikan beliau. Aamiin.

Kemudian sayapun menikah. Sebagai keluarga baru yang sedang merintis kehidupan dan dengan suami yang mulai merintis karir, keuangan kami ketika itu hanya cukup untuk kebutuhan hidup dan sedikit membantu orang tua. Kadang akhir bulan bersisa, dan  terkadang malah kurang. Ibadah hajipun hanya tergantung di impian ‘Ketika nanti mapan….’

Aku tak berani memasang target karena sadar kemampuan ekonomi ketika itu. Tapi aku lupa bahwa haji itu ternyata tidak hanya melulu soal uang. Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Tak sedikit orang yang memiliki harta berlimpah tapi tak kunjung diberi kesempatan untuk berhaji. Tapi tak sedikit pula orang yang tak memiliki uang malah berangkat haji. Semua terjadi adalah karena panggilan Allah. Kalau Allah sudah memanggil, semua akan dicukupkan oleh Allah. Nah, sudah pantaskah kita untuk dipanggil Allah?

Allah Yang Maha Penyayang membuka mata hatiku ketika tahun 2006 suami mendapat hadiah dari perusahaannya untuk berangkat haji. Ketika itu aku baru saja melahirkan anak ke empat secara caesar. Si bayi mengalami sedikit masalah sehingga harus dirawat 9 hari di ruang perinatal dan akupun harus menjalani operasi ulang 2 minggu kemudian karena jahitan di perut sebelah kiri lepas sepanjang 2 cm. Dengan banyaknya cobaan ketika akan berangkat (suami berangkat haji di hari ke 40 setelah aku melahirkan), suami ikhlas berangkat hanya dengan mengandalkan living cost yang akan diberikan pemerintah ketika akan berangkat haji nanti. Tapi, qadarullaah….Allah mencukupkan kebutuhan hambaNya. TIba-tiba salah satu kerabat memberikan sangu sebesar $ 1.000. Alhamdulillaah….

Kemudian kesadaran itu makin tertohok ketika seorang teman bercerita. Ketika ia mengantar pamannya pergi haji, seperti jamaknya orang Indonesia, iapun tak luput minta ‘dipanggil’ di tanah suci agar segera dapat berhaji. Ternyata jawaban dari pamannya sederhana saja. “Sudah buat tabungan haji belum? Niat saja tapi belum ada tindakan nyata, bagaimana Allah yakin untuk memanggilmu? Nabung dulu. Urusan kapan cukupnya itu biar menjadi urusan Allah.”

Jleb! Benar banget. Tunjukkan kesungguhan niat dengan tindakan nyata. Urusan kapan cukupnya biarlah menjadi urusan Allah Ta’ala yang Maha Kaya.

Karena urusan kepindahan domisili dari Bogor ke Karawang yang disebabkan suami pindah tugas, serta merenovasi rumah, akhirnya baru di tahun 2009, kami baru bisa membuat tabungan haji di salah satu bank Syariah. Tak lupa setiap bulan kuisi seberapa mampu. Dan memang Allah Maha Kaya, dalam tempo kurang dari 2 tahun, tak disangka ternyata uangnya cukup untuk mendaftar haji aku dan suami. Padahal kalau menilik penghasilan suami ketika itu, tak mampu kami menabung sebanyak itu dalam tempo kurang dari 2 tahun. Allahu Akbar! Menabunglah. Dan biarkanlah Allah Yang Maha Kaya mencukupkannya dengan jalan yang tak disangka-sangka.

Akhirnya setelah menunggu sekitar 4 tahun, undangan dari Allahpun tiba. Saya ingat, ketika pertama kali melihat daftar nama calon jamaah Haji 2015 yang akan menjalani pemeriksaan kesehatan di puskesmas desa Wadas, Karawang, rasa cemas melanda. Khawatirnya melebihi ketika melihat pengumuman kelulusan sekolah. Kalau sekolah, saya yakin lulus. Tapi haji, saya khawatir tidak jadi ikut karena terkena pemotongan kuota haji. Begitu namaku dan nama suami tertera jelas di lembar pengumuman yang tertempel di puskesmas itu, rasanya badan jadi lemas karena rasa lega dan bahagia. Rasa syukur membumbung. Al-hamdu lillaah wa syukru lillaah. Akhirnya, Engkau panggil kami ya Allah…

Persiapan-persiapanpun mulai dilakukan. Baik itu bimbingan manasik, latihan fisik, persiapan mental, hafalan do’a dan lain-lain. Tapi tetap saja menjelang keberangkatan persiapan rasanya masih saja kurang.

Bagiku ini adalah ibadah Haji yang pertama. Belum pernah jadi belum tau. Jadi banyak hal yang kukhawatirkan. Apakah ibadahku di sana lancar? Apakah ibadah Hajiku akan diterima Allah? Apakah hajiku mabrur? Apakah aku di sana akan mendapat kemudahan atau cobaan? Apakah aku bisa menjaga lisan, hati terutama lidah dari berkomentar yang tidak pantas? Bisakahku menahan diri dari Rafats, Fusuq dan Jidal? Apakah anak-anak di rumah akan baik-baik saja? Apakah mereka tidak akan bertengkar? Menyakiti atau disakiti? 

Owh...semuanya berdesakan masuk ke dalam otakku. Ribuan ‘apakah’ itu seakan-akan menggelayuti setiap pikiranku.

Berbeda dengan suami yang pernah berhaji, walau Haji ABIDIN (Haji Atas BIaya DINas), hehee..... Sehingga ia bisa ‘cool’ menghadapi haji kali ini. Kemudian suami menasehatiku,
Ikhlaskan saja semua kepada Allah. Kalau Allah sudah mengundang kita maka Allah pula yang akan menyelesaikan semua persoalan kita”.
Aamiin Yaa Rabb al- ‘aalamiin.

Teringat kata Pak Ustad Yono, pembimbing hajiku, syarat untuk meraih haji MABRUR itu adalah :
1.      Niat yang IKHLAS
2.      Berbekal TAQWA
3.      Berhaji sesuai SUNNAH RASULULLAH SAW
Ibadah Haji memang bukan ibadah biasa. Sebuah ibadah bagi yang ‘mampu’. Mampu secara fisik (sehat), mampu secara finansial (keuangan) dan keamanan (aman dari gangguan). Dan kalau Allah sudah ‘mengundang’, maka semua hal itu insya Allah, akan dimampukan oleh Allah Ta’ala.

Alhamdulillah, beban pikiran rasanya berkurang. Dukungan dan do’a dari sanak saudara, teman, tetangga bahkan dari guru sekolah anak-anak berdatangan. Ibupun sudah datang dari Padang untuk menjaga anak-anak. Sungguh menguatkan hati.

Dengan membaca Bismillaahhirrahmaanirrahiim, dan memohon pertolongan Allah Yang maha Kuasa, kumulai perjalanan ibadah yang luar biasa ini. Perjalanan  ibadah haji yang memakan waktu 40 hari ini, dengan segala rintangan dan tantangannya, kutuliskan untuk menjadi ibroh, khususnya bagi diriku. 








0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.