Diabetes


Diabetes

Dulu, aku tidak ‘ngeh’ dengan penyakit diabetes. Tidak tau dan tidak mau tau. Saya masih muda, sehat ‘and… who cares?’.

Tapi ketika saya kuliah, ternyata ayah didiagnosa sakit diabetes. Badannya yang dulu tegap, berisi, perlahan-lahan mulai kurus. Gampang capek, sering merasa gatal di kulit padahal tak ada penyebabnya. Kemudian ayah terserang stroke yang membuatnya susah bicara dan susah berjalan. Dengan mengikuti terapi akhirnya ayah mulai bisa berjalan dan bicara walau tak sesempurna seperti dulu. Dan ayah lebih banyak menangis. Kemudian serangan stroke kedua membuat ayah lumpuh dan susah bicara. Dan 3 tahun setelah serangan stroke pertama ayahpun berpulang ke rahmatullah. Inna lilaahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga Allah menghapus segala dosa ayah karena kesabarannya dalam sakit selama 3 tahun. Aamiin.

Sejak itu mataku mulai terbuka dengan penyakit diabetes dan efek lain yang bisa diakibatkan olehnya. Bisa menyebabkan stroke, kebutaan, luka yang tak mau mengering sehingga menyebabkan kebusukan dan amputasi dan lain-lain.

Terlebih kemudian kakak tertuaku juga terkena diabetes. Adik perempuan ibuku beserta dua anak perempuannya juga diabetes. Beberapa saudara dari pihak suami dan beberapa temanku juga terkena diabetes. Aku mulai was-was. Sungguh aku sangat takut dengan diabetes, sebuah penyakit yang tak ada obatnya dan hanya bisa dikendalikan. Kalau sudah terkena diabetes, seumur hidup akan diabetes.

Memang tidak semua penderita diabetes berakhir dengan buruk. Karena banyak juga yang bugar karena selalu mengontrol kadar gula darahnya. Diet dan olahraga mutlak diperlukan. Karena diabetes ini bukan penyakit yang disebabkan oleh virus maupun bakteri. Tapi merupakan penyakit yang disebabkan rusaknya pangkreas yang menghasilkan insulin yang akan mengubah zat glukosa menjadi energi. Ketidakmampuan pangkreas menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, menyebabkan tidak semua glukosa bisa diubah menjadi energi, sehingga sebagian zat glukosa (gula) itu terbuang bersama air seni.

Ternyata kekhawatiranku benar-benar menjadi nyata. Setelah seminggu merasa tidak enak badan, dengan ditemani suami akhirnya aku ke dokter. Ternyata tekanan darahku meningkat dan gula darah cukup tinggi. Kemudian aku disarankan untuk memeriksa gula darah secara lengkap.

Dua minggu kemudian, 14 April 2016, kembali aku memeriksakan gula darah lengkap. Gula darah puasa, gula darah 2 jam sesudah puasa dan HbA1C yang merupakan pengecekan gula darah 3 bulan terakhir. Dan…akupun divonis diabetes!

Rasanya nelangsa sekali. Terbayang saya sudah tidak bisa makan yang enak-enak lagi. Makanan harus ditakar dan ditimbang. Banyak pantangan makanan. Tidak lepas dari obat-obatan. Penyakit lain yang bisa ikut mendompleng, dan lain-lain.

Tapi ternyata, kata dokter, saya boleh makan apa saja asal tidak berlebih. Dan olah raga yang menyebabkan jantung berdetak ….. minimal sekali seminggu.

Pulang dari dokter rasanya masih bingung. Kenapa saya bisa kena? Pola hidup saya yang mana yang berlebihan dan tidak sehat? Semakin dipikir semakin kusut rasa hati dan pikiran. Tapi untunglah suami selalu membesarkan hati.

Malamnya, karena ada keperluan, saya dan anak-anak pergi keluar. Sambil menyetir, saya menceritakan hasil diagnosa dokter tadi. Anak-anakpun kaget. Apalagi begitu diberitahu bahwa penyakit diabetes ini tidak bisa sembuh. Muthi sebagai anak tertua dan yang sudah memahami, langsung menangis.

“Ibu jaga kesehatan ya? Muthi dan adek-adek masih kecil”.

Dan iapun mengungkapkan tekadnya untuk menjadi dokter. Ia bertekad ingin membuat obat untuk memperbaiki pangkreas sehingga bisa memproduksi insulin lagi dalam jumlah yang cukup.

Tangisnya yang diikuti oleh adiknya, membuat air mataku pun luruh dengan derasnya, membuatku agak kesulitan menyetir karena pandangan jadi kabur karena deraian air mata.

Insya Allah ibu akan selalu sehat, nak. Air matamu membuat ibu akan selalu bertekad menjaga gula darah ibu. Insya Allah.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.