Episode Baru


Episode Baru

Pernahkah mendengar ungkapan ‘yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri’? Ya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Segala sesuatu di dunia ini pasti berubah.

Apalagi yang namanya makhluk hidup. Selalu berubah. Dari fase lahir, anak-anak, dewasa dan mati. Begitu juga dengan keinginan. Selalu berubah-ubah. Coba tanya kepada anak kecil, apakah cita-citanya? Ketika TK, mungkin cita-citanya jadi dokter, guru, polisi dan lain-lain yang lekat dalam pandangannya sehari-hari. Besar sedikit, usia SD, cita-citanya akan berubah lagi. Di usia ini ia sudah mulai mengenal idola. Mulailah cita-citanya ingin menjadi penyanyi, pemain bola, gamer, chef dan lain-lain. Makin besar, mereka sudah mulai mengenali minat dan bakatnya, maka mulailah cita-citanya bergeser sesuai dengan minat dan bakatnya.

Begitu juga dengan orang yang sudah menikah. Ketika jadi ‘kontraktor’, ingin segera punya rumah. ‘Biar kecil juga, tidak apa-apa’. Setelah punya rumah kecil, ketika anak-anak sudah mulai banyak dan tambah besar, mulailah ingin punya rumah besar. Dari tidak punya kendaraan, ingin segera punya. Sudah punya motor ingin segera punya mobil. Sudah punya kendaraan satu, ingin segera punya dua. Tak ada habisnya dan selalu berubah.
Tak ada yang salah. Karena manusia itu dinamis. Yang salah adalah ketika keinginannya itu menyelisihi perintah Allah.

Pun dengan diriku.
Dulu ku ingin sekali menjadi dokter. Pelajaran biologi adalah pelajaran favoritku selain matematika dan bahasa Inggris. Tapi karena kandas sewaktu ujian UMPTN, akhirnya aku terdampar kuliah di Politeknik Engineering jurusan Telekomunikasi. Mulailah aku dengan cita-cita hebat ingin bekerja di Indosat, yang ketika itu merupakan perusahaan Telekomunikas terkemuka. Tapi takdir Allah akhirnya aku justru bekerja di sebuah perusahaan besar pabrik semen. Tapi mungkin karena bukan keinginanku, aku kurang bersemangat kerja di sana. Hanya 3,5 tahun, aku bekerja di sana, kemudian sang pujaan hati meminang diriku.

Dan akhirnya setelah menikah, akupun segera mengikutinya pindah ke Jakarta dimana dia bekerja di sebuah perusahaan otomotif terbesar di Indonesia.

Tahun demi tahun berlalu, lahirlah buah hati satu persatu. Akhirnya kamipun diamanahi anak oleh Allah sebanyak 4 orang. Meskipun akhirnya anak tertua kami diambil kembali oleh pemiliknya di saat berumur 2,8 tahun.

Rutinitas rumah tangga kadang-kadang memang bikin stress. Kerja yang itu-itu melulu, yang tidak pernah habis-habis dan monoton selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan dan 365 hari dalam setahun.

Para ibu butuh sesuatu di luar itu, yang membuatnya lebih bergairah, mendapat pengakuan,  dan ehmm…mungkin sedikit pujian.

Alhamdulillah suami mengajariku sedikit teknik fotografi. Tapi sebenarnya karena kecanggihan teknologi digital sekarang, hanya dengan memakai teknik auto dan anti vibration, membuat hampir semua foto terlihat bagus. Hanya perlu mengasah feeling untuk mendapatkan angle maupun moment yang bagus. Tapi teknik yang mumpuni tetap lebih bernilai.

Mulailah saya jeprat jepret anak. Ada kepuasan kalau melihat hasilnya bagus. Kecerian dan keluguan mereka terekam dengan baik. Dan mulailah tetangga-tetangga meminta anaknya untuk di foto. Lama-lama makin banyak. Bahkan saya mulai mendapat order untuk pernikahan dan dari sekolah-sekolah untuk membuat pas foto maupun perpisahan. Lama-lama saya berfikir, karir sebagai fotografer bisa saya seriusi. Dan akhirnya sayapun mengambil kursus fotografi dari Nikon School.

Orderpun makin lancar dan banyak. Bahkan beberapa kali memenangkan perlombaan foto. Mulai dari hadiahnya baju kaos sampai hadiah uang jutaan. Tapi lama-lama waktuku mulai tersita apalagi kalau order sedang banyak. Memasakpun jadi tidak sempat. Akhirnya anak-anakpun mulai protes. ‘Harusnya ibu jangan jadi fotografer’, kata mereka.
Mungkin karena anak-anak mulai sering protes, dan mungkin juga karena umur yang semakin bertambah, tiba-tiba keinginan untuk membesarkan usaha foto yang sebenarnya sangat menjanjikan ini, semakin kendor.

Mulailah saya melirik-lirik lahan lain.
Ketika ada uang lebih, kamipun membeli 2 rumah dengan tipe 36/60 untuk di jadikan kontrakan. Saya pikir, enak juga punya kontrakan. Ibarat memiliki uang pensiun. Tidak capek kerja, uang mengalir terus. Mulailah kami menerima mahasiswa sebagai pengontrak pertama. Ada 4 orang, semuanya laki-laki. Tapi, innalillahii..mereka penganut pergaulan bebas. Perempuan dengan gampang masuk dan menginap di sana. Tetanggapun jengah. Akhirnya dengan halus, kuusir mereka semua.

Kemudian, yang kuterima hanya pengontrak yang sudah berkeluarga. Akhirnya datanglah dua keluarga. Dua-duanya anggota TNI. Ternyata yang 1 keluarga benar dan yang satu lagi tidak benar. Ketika istrinya pulang kampung, si suamipun begitu deeh….
Setelah habis masa kontrak, kontrakpun tidak saya perpanjang. Kali ini yang masuk 1 keluarga dan 2 anak muda yang kelihatannya santun dan sholeh. Yang berkeluarga, alhamdulillah benar. Tapi yang bujangan, qadarullah.., ternyata mereka berdua setali tiga uang dengan pendahulunya di rumah itu. Bahkan sampai di datangi pak RW.
Lama-lama kupikir, aku tidak cocok di bisnis ini. Banyak maksiatnya. Mereka yang berbuat maksiat, tapi turut memberikan dosa kepada saya dan tetangga di sekelilingnya. Dosa sendiri saja sudah banyak ditambah lagi dosa oleh mereka yang membuat kerusakan dengan difasilitasi oleh saya. Na’udzubillahi min dzalik.

Akhirnya akupun berpikir lagi, bisni apa yang cocok untukku. Setelah lama berpikir, akhirnya teringatlah bahwa saya memiliki sepetak tanah di daerah Jomin, Cikampek. Tidak luas. Hanya 300m. Tanah sepetak itu, rimbun oleh pepohonan. Ada rambutan, petai, kecapi, kedondong, mangga, durian, sawo Jepang, pohon jonjing, dan lain-lain.

Tanah ini ku beli hasil dari menjual mobil Starlet. Dibeli murah dari guru anakku yang akan membangun PAUD di rumahnya. Selama ini tanah ini tidak memiliki nilai ekonomis bagiku. Apabila ada pohon yang panen, hanya diambil dan dibagi-bagikan dengan tetangga.
Akhirnya aku ingin memberdayakan tanah ini. Kuingin menjadi petani. Maka pilihanku jatuh kepada singkong. Kenapa singkong? Menurut sumber-sumber dari mbah google, tanamannya tidak neko-neko. Cocok ditanam di ketinggian 10 sampai 700 m di atas permukaan laut, perawatan tidak terlalu rumit, serta kebutuhan dalam negeri yang sangat besar.

Maka dimulailah persiapan. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah itu harus dibabat habis. Pohon-pohon besar, aku jual kepada tukang kayu. Mereka yang membeli, mereka juga yang menebang. Dengan dibantu oleh satu orang penduduk Jomin, akhirnya tanah itu, dengan bedeng-bedeng yang rapi, siap untuk di tanam.

Selain belajar dan mencari-cari informasi via google, akhirnya ketemulah suatu perkebunan yang cukup dekat dari domisiliku. Setelah berhubungan dengan beliau via wa dan telepon, maka dengan diantar suami, sayapun berangkat ke perkebunannya untuk belajar dan membeli bibit.

Singkat cerita, akhirnya, hari ini tanggal 22 November 2016, tanaman singkongkupun ditanam. Mudah-mudahan hasilnya bagus dan sangat memuaskan. Aamiin…..

Dan mimpiku……5 tahun dari sekarang, saya sudah memiliki kebun singkong  seluas 10 hektar. Aamiin….ya rabbal ‘alamiin…

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.