Intoleransi Protein




Tahun 2004, saya melahirkan anak ketiga berjenis kelamin laki-laki. Dia adalah satu-satunya anak laki-laki dari empat anakku. Dia memiliki 2 kakak perempuan dan satu adik perempuan.
Dia lahir dengan berat 3150 gr dan panjang 46 cm. Karena ASIku banyak, maka ia bisa kuberi ASI ekslusif. Pertumbuhannya bagus. Badannya montok dan lincah. Berkulit putih, berbibir merah serta gampang tertawa. Sehingga sangat menggemaskan siapapun yang melihatnya.
Ketika usia 6 bulan, ia mulai kuberi MPASI. Dan tambahan sufor. Makannya sangat lahap. Apapun menu bubur yang kuberi yang kubuat sendiri dari bahan alami dan segar, selalu tandas tak bersisa. ASI doyan, suforpun doyan.
Harusnya badannya makin berisi. Tapi kenyataannya badannya makin kurus. Beda sekali ketika dia masih ASI eksklusif.
Ayahnya merasa, anaknya makin kurus karena ia sangat lincah dan aktif. Usia 10 bulan sudah bisa jalan. Dan usia 11 bulan sudah bisa berlari. Perlu energi ekstra untuk menjaganya.
Tapi sebagai ibu, saya merasa ada sesuatu yang salah. Saya perhatikan setelah mendapatkan MPASI dan sufor, BABnya sangat sering dan banyak. Sehari bisa 3-5 kali. Teksturnya pun agak keras. Aneh aja anak sekecil itu BAB nya sering dan banyak. Tapi kalau dilihat fisik seakan tak masalah. Dan tak ada keluhan ketika BAB.
Puncaknya ketika ia berumur 11 bulan. Badannya sangat kurus. Seperti anak yang kurang gizi. Berbanding terbalik dengan makannya yang banyak dan menyusu yang kuat.
Akhirnya saya coba bawa dia ke dokter spesial anak. Setelah diperiksa dan cek feces ke labor, diagnosa dokter ada bakteri di ususnya. Sehingga ia diberi antibiotik. Tapi selama meminum antibiotik, sama sekali tak ada perubahan di dalam frekuensi dan tekstur BABnya. Kemudian dokter kembali memberikan obat. Tapi tetap tak ada perubahan.
Akhirnya saya pindah ke dokter spesialis anak yang kedua. Ternyata setelah diperiksa dan cek feces ke labor, diagnosanya sama. Setelah diberi obat tetap tak ada perubahan.
Saya pun pindah ke dokter ke 3 dan ke 4. Semua diagnosanya sama. Minum antibiotik sudah sangat banyak dan bermacam-macam. Tetapi tetap tak ada perubahan pada anak saya.
Diantara perasaan yang amat galau, saya bawa anak saya ke dokter spesialis anak yang kelima. Beliau khusuk mendengarkan cerita saya yang sudah berganti dokter hingga empat kali namun tak ada perubahan. Akhirnya beliau tidak memeriksa anak saya tapi memberi rujukan ke klinik gastrologi di RSCM. Karena menurut beliau mungkin ada masalah di pencernaan.
Maka kamipun membawa si nak bujang kami ke RSCM. Di klinik Gastrologi ini sungguh menciutkan hati karena yang hadir di sini adalah pasien rujukan dari seluruh Indonesia dengan kasus-kasus yang berat. Mereka datang dari pelosok-pelosok Indonesia ke Jakarta dengan biaya minim. Sungguh menyentil perasaan.
Akhirnya tiba giliran anakku diperiksa. Seorang profesor dan 4 orang dokter muda turun untuk menangani kasusnya. Tapi tak seperti dokter umumnya, ambil stetoskop, periksa fisik, langsung suruh cek lab atau langsung meresepkan obat, dokter di sini mengelilingiku hanya untuk bertanya. Bertanya riwayat kelahirannya, bertanya riwayat kesehatan saya sedari kecil dan juga bertanya riwayat kesehatan ayahnya sedari kecil. Jadi berjam-jam waktu hanya digunakan untuk bertanya. Luar biasa. Usaha yang teliti untuk menegakkan diagnosa.
Kemudian mereka memintaku untuk membawa feces pertama di pagi hari. Feces itu sudah harus sampai di RSCM dalam waktu kurang dari 4 jam setelah BAB. Karena kalau lewat dari 4 jam, di feces itu akan tumbuh kuman baru. Dan feces itu harus dibawa di dalam wadah dan wadah itu harus dimasukkan ke dalam termos yang diisi dengan es batu yang banyak. Untuk mencegah tercampur kuman dari udara.
Dan besoknya saya berpacu dengan waktu membawa feces itu dari Bogor menuju Jakarta dengan dua kali naik angkot, sekali naik kereta dan sekali naik bajaj. Tidak boleh lebih dari 4 jam. Benar-benar perjuangan yang membuat stres. Sepanjang jalan mendekap termos berisi feces seperti mendekap emas berlian.
Seminggu kemudian hasilnya keluar. Ternyata bakteri yang ada diperutnya adalah bakteri yang biasa ditemui di perut-perut orang lain. Tak ada yang aneh. Tak ada masalah.
Kemudian sang profesor, merujuk anakku ke klinik alergi RSCM.
Daaan...di sinilah ketahuan biang masalahnya. Setelah di tes alergi dengan 16 tusukan sampel alergi ketahuanlah ternyata dia alergi dengan protein susu sapi, protein kedelai, kuning telur dan bulu kucing.
Inilah sebab kenapa ia sering buang air besar dan dalam jumlah yang banyak. Tubuhnya tak menerima susu sapi, kedelai dan kuning telur yang setiap hari saya beri. Sehingga makanan itu semuanya tak diserap oleh tubuhnya. Jadi numpang lewat saja.
Alergi tak ada obatnya. Hanya imun tubuhnya yang bisa menyembuhkannya.
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah mengosongkan perut dari semua faktor alergen selama 2 tahun. Ia sama sekali tak boleh meminum susu sapi dan turunannya seperti keju dan yoghur. Tak boleh memakan kedelai dan turunannya, seperti tahu, tempe sampai kecap. Tak boleh memakan kuning telur dan harus dijauhkan dari kucing.
Kemudian, baru diterapkan metode provokasi eliminasi, untuk membentuk imun tubuhnya terhadap makanan itu.
Meskipun sedih, saya sangat legaaaa...sekali mengetahui sumber masalah ini.
Maka mulai hari itu kami stop memberikan sufor dari sapi. Stop memberi keju dalam campuran makanannya. Stop menambahkan tahu tempe dalam makanannya. Juga stop memberikan kuning telur.
Biasanya kalau anak alergi protein susu sapi, ia bisa diberikan susu kedelai. Tapi bagi anak kami, susu kedelaipun tak bisa diberikan karena iapun alergi protein kedelai.
Karena saat itu saya sedang hamil anak ke empat dan ia sudah saya sapih, maka dokter memberikan saran memberikan ia susu gandum. Saat itu tahun 2005. Satu-satunya perusahaan yang mengeluarkan produk susu gandum adalah dari Nutr*c*a. Dan harganya pun sangat mahal. Satu kaleng 400 gr berharga Rp 120.000,-. Satu kaleng 400 gr habis dalam 4 hari saja.
Untuk camilan kue kering, hanya cracker beras yang bisa ia makan. Karena hanya itu satu-satunya biskuit yang tidak mengandung susu sapi dan telur.
Kalau kakaknya ingin makan es krim atau cemilan lain harus sembunyi-sembunyi jangan sampai terlihat olehnya.
Alhamdulillah, begitu diet menghilangkan faktor alergen ini kami lakukan, BABnya turun drastis menjadi 1-2 kali sehari. Dan teksturnya pun menjadi lembut seperti anak normal lainnya. Tak terkatakan gembiranya hati ini.
Dan walaupun berat, diet menghilangkan faktor alergen di tubuhnya bisa kami lalui selama 2 tahun lebih. Dan di usianya yang ke 4 tahun kami mulai melakukan metoda provokasi eliminasi.
Pertama, tubuhnya diprovokasi dengan sedikit susu sapi. Kalau BABnya meningkat, langsung eliminasi. Tak boleh diberikan lagi. Tunggu sekitar 2 minggu. Kemudian provokasi kembali. Kalau BABnya normal, tingkatkan jumlahnya.
Kalau provokasi susu sapi berhasil, lanjutkan dengan kedelai. Beri tahu atau tempe dalam jumlah kecil. Kalau BABnya meningkat, eliminasi selama 2 minggu. Dan kalau BABnya normal lanjutkan provokasi dalam jumlah yang lebih banyak.
Alhamdulillah metoda provikasi eliminasi ini hanya kami lewati sekitar 6 bulan saja. Imunnya sudah terbentuk. Dan iapun bebas meminum susu sapi, makan keju dan es krim, juga bisa makan tahu, tempe sampai kecap. Lezatnya telur dadarpun bisa ia nikmati dengan aman.
Dan di usia 8 tahun, ia kembali diuji. Ada kebocoran di sekat serambi di jantungnya sebesar 10 mm. Dan dengan penuh perjuangan lagi kami menghadapinya. Hingga akhirnya lewat operasi di RS Harapan Kita, Atrium Septal Occluder terpasang di jantungnya untuk menutupi kebocoran itu.
Sekarang ia sudah berumur 16 tahun. Alhamdulillah ia seorang pemuda yang energik, santun, berprestasi di bidang akademik dan juga seorang atlet. Murah senyum dan insya Allah seorang pemuda yang sholeh. Aamiin ya rabbal'alamiin.
By. Akhmaneli
Ibu dari 4 anak

Catatan.

Tulisan ini diunggah di grup Komunitas Bisa Menulis tanggal 21 Maret 2020
dan mendapat respon lebih dari 3500 orang, dikomentari oleh 850 orang dan dibagikan oleh 348 kali

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Powered by Blogger.