Dulu, saya belajar setir mobil sangat bersusah payah. Karena saya yang tadinya hanya bisa mengendarai sepeda, tiba-tiba loncat belajar mobil.
Selepas seminggu belajar menyetir dengan suami asisten rumah tanggaku yang berprofesi sebagai sopir angkot, saya mulai menjajal membawa mobil sendiri setiap hari. Ya... Setiap hari tanpa absen. Demi memperlancar menyetir mobil.
Tapi, setiap hendak berangkat membawa mobil, perut saya selalu mules duluan. Melilit-lilit sehingga keluar keringat dingin dan telapak tangan juga menjadi dingin.
Karena setiap akan berangkat terbayang jalan yang ramai, kemacetan-kemacetan, bertemu perlintasan kereta api, bunderan putar balik dan lain-lain. Terbayang di titik itu saya harus berhenti. Mobil-mobil berderet di belakang mobil saya. Ketika akan jalan, apabila injakan kopling dengan gas tidak serasi maka mesin akan mati. Dan terbayang mobil-mobil di belakang saya akan mengklakson dengan tidak sabar dan marah. Duh duuuhh.... Sungguh menciutkan hati. Tapi meskipun ciut, saya paksakan tetap jalan.
Pernah sekali waktu, rute yang hendak saya lewati adalah perlintasan rel kereta api yang menanjak agak tinggi. Seandainya saya berhenti paling depan ketika kereta lewat, alamaak...menserasikan kopling dan gas aja belum lancar, ditambah pula langsung menanjak yang agak tinggi. Bisa-bisa mesin mati dan klakson bertubi-tubi di belakang saya.
Saking stres membayangkannya, perut pun melilit dengan hebatnya. Rasa sakit perut ini, membuat saya benar-benar ke belakang dan mengeluarkan semua isi colon. Selesainya, badan saya terasa lemas sekali. Kaki gemetar. Keringat sudah bercucuran di kening dan leher. Rasanya ingin menyerah. Tidak jadi pergi dan segera goleran di kasur.
Tapi teringat kembali niat buat belajar menyetir. "Saya harus bisa untuk anak". Akhirnya saya tetap berangkat dengan lutut yang masih gemetar.
Ya... Anak-anaklah yang menjadi motivasi utama. Ketika itu anak-anak masih kecil-kecil. Dan saya diuji dengan anak yang gampang sakit dan sering di rawat di rumah sakit.
Saat itu kami tinggal di Bogor dan suami kerja di Jakarta. Tiap hari bolak balik Bogor-Jakarta. Sehingga ketika ada masalah dengan anak, sekarang telepon suami, maka sekitar 4-5 jam kemudian beliau baru sampai di rumah.
Sehingga kalau ada masalah, saya sering merepotkan tetangga untuk minta antar ke rumah sakit. Lama-lama malu juga. Akhirnya saya bertekad belajar setir.
Selama proses 2 bulan belajar membawa sendiri itu, tak kurang 3 kali saya menabrak angkot. Tau sendiri kan Bogor terkenal dengan julukan kota seribu angkot? Angkotnya sangat banyak dan mereka sering ngebut serta berhenti mendadak.
Tabrakan pertama membuat spion angkot patah. Supirnya minta ganti rugi Rp 40.000,-. Tabrakan ke dua, bumper bagian belakangnya copot, sehingga si supir minta ganti Rp 200.000,-. Pulangnya lemes.
Malamnya saya telepon suami yang ketika itu sedang menunaikan ibadah haji. Posisi beliau saat itu sedang di Madinah. Saya bilang, terlalu berat bagi saya belajar mobil. Sudahlah tiap pergi perut melilit melulu, sekarang nabrak melulu. Saya mau berhenti saja.
Untung beliau membesarkan hati saya. "Biasa itu. G ada orang yang belajar mobil, g pernah nabrak. Ayo semangat... " katanya.
Alhamdulillah, beliau tidak mempermasalahkan mobil yang penyok dan uang ganti rugi ke para supir angkot itu. Maka semangat sayapun kembali membara.
Sehingga ketika berikutnya saya nyerempet angkot lagi, saya sudah tenang menghadapinya. Dan setelah 2 bulan berlalu, Alhamdulillah sakit perutpun hilang.
Dan setelah itu, si sulung yang biasanya naik mobil jemputan sekolah, saya stop. Sayalah yang mengantar jemput ia pulang pergi ke sekolah. Dan kemudian berturut-turut adik-adiknya masuk sekolah.
Puncak repotnya ketika si sulung kelas 5 SD, si tengah kelas 2 SD dan si bungsu TK A. mereka semua bersekolah di sekolah yang berbeda. Tak henti-hentinya saya mondar mandir setiap hari. Mengantar, menjemput, dan mengantar bekal makan siang.
Kemana pun saya pergi, mereka selalu ikut. Kadang kami pergi berempat, kadang kami berlima, full team dengan si ayah. Selalu heboh.
Sekarang sudah 14 tahun berlalu. Si sulung sudah kuliah di Padang, si tengah sudah SMA di sebuah pesantren di Anyer, Banten dan si bungsu sudah SMP dekat rumah. Tak ada yang perlu saya antar sekolah dan bolak balik mengantar makan siang. Bahkan si bungsu ke sekolah dengan bersepeda.
Hari-hari terasa sepi.
Sekarang di saat pandemi covid begini, semua kembali pulang ke rumah. Berkumpul kembali. Dan mereka sudah lancar membawa motor.
Sekarang, sering sekali saya pergi dengan minta diantar mereka pakai motor. Kemana saya mau, mereka siap antar.
Entah kenapa, dibonceng mereka menimbulkan perasaan haru yang membahagiakan.
Terbayang dulu ketika bocah, mereka saya bawa kemana-mana. Sekarang mereka sudah dewasa, mereka yang membawa saya kemana-mana.
Kadang, saat membonceng saya mereka iseng.
"Pegangan buu, kita mau off roaaad...."
Padahal jalan yang dilewati hanya menurun sedikit, berbelok dan sedikit bergelombang. Tapi candaan begitu saja, sudah membuat hati saya sangaaat... bahagia.
Apa mereka juga merasakan hal yang sama ya ketika mereka kecil selalu saya bawa kemana-mana?
Waktu memang terasa sangat pendek....
0 comments:
Post a Comment