Tentang halal lagi....

 


10 tahun yang lalu, telinga kita mungkin belum terlalu familiar dengan makanan ramen, udon, takoyaki, onigiri, kimchi, bulgogi, topoki, jajangmyeon dan lain-lain. Sekarang resto yang menjual aneka makanan tersebut menjamur di Indonesia, di tiap propinsi sepertinya ada. Mulai dari kota, sampai kabupaten.
Tontonan dari negara tersebut membuat masyarakat kita makin familiar dengan makanan tersebut. Membuat penasaran untuk mencicipinya.
Tak ada salahnya untuk mencoba. Tapi karena makanan tersebut dari negara non muslim, maka wajib bagi kita waspada akan kehalalannya. Prinsip azas praduga tak bersalah terhadap makanan itu, tentu tak bisa kita terapkan. 😀
Seperti kata teman saya, "Yang penting g ada babinya."
Hohooo....menghukumi halal haram tak semudah itu Rudolfo.
Atau teman saya yang lain.
"Saya mah...bismillah aja."
Hellooow....yang haram tak akan berubah menjadi halal hanya dengan membaca Bismillah.
Jangan sampai kita menyepelekan makanan haram karena ancamannya pedih, pemirsa.
Kalau kita tak tau resto itu halal atau tidak, bagaimana?
Ya cari tau dong...
Bertanya bisa, googling bisa.
Jangan nyelonong aje ke dalam...
Jadi, jika itu restoran besar, pastikan ia memiliki sertifikasi halal. Kenapa? Karena ia MAMPU membiayai pengurusan sertifikasi Halal tersebut. Kalau ia tak memiliki logo halal, maka perlu kita tinggalkan. Titik!
Kalau di Indonesia yang kita yakini tentu sertifikasi halal dari MUI.
Tapi jangan salah, kewaspadaan kita tak hanya menyasar resto besar saja. Makanan pinggir jalan alias kaki lima juga patut kita waspadai. Nasi goreng, seafood, itu adalah makanan yng rawan memakai angciu. Angciu itu mereka anggap penyedap masakan. Mereka tak tau atau tak mau tau (?) kalau angciu itu adalah arak beras alias tuak alias minuman keras alias khamr yg hukumnya adalah HARAM.
Kami pernah makan pecel lele kaki lima di trotoar di jalan Kertabumi, Karawang (Duluu....jaman Muthi masih SMP. Kira-kira 6 tahun yang lalu). Di samping menu standar ayam goreng dan lele, kami memesan udang asam manis
Di tengah asyik makan, tetiba saya ingat.
"Kang, ini cumi asam manis pake Angciu g?"
"Pake bu", jawabnya dengan mutados (muka tanpa dosa).
Weeekkk....saya dan si sulung serta ayahnya kaget. Langsung itu cumi kami singkirkan sambil beristighfar.
Pernah juga kita ke pujasera di suatu Mall di Senen Jakarta. Kita pesan aneka mie. Ketika pramuniaganya mengambil kertas pesanan kita, saya tanya,
"Mienya pake angciu, g mba?"
"Pake bu."
Maka kamipun membatalkan pesanan.
Si pramuniaganya bertanya,
"Emang kenapa, bu? Angciu kan cuma penyedap".
Nah, begitulah. Tak hanya restoran besar yang harus kita waspadai. Restoran kelas menengah dan kelas pinggir jalan pun harus kita waspadai.
Jangan sampai ibadah kita tak diterima Allah karena sikap tak peduli kita. Dan jangan sampai daging yang terbentuk dari makanan haram menyeret kita ke neraka. Karena Rasulullah SAW telah bersabda:
كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به
“Setiap Daging yang Tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.” (HR. Thabrani).
Aamiin ya rabbal'alamiin.
Nasehat buat diri sendiri, agar selalu waspada.
Karawang, 19 Maret 2021

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.