Jujurlah....


Beberapa waktu lalu, si gadis kecewa. Ia gagal seleksi beasiswa full funded dari Tanoto Foundation. Tanoto Foundation tahun ini memberikan beasiswa hanya untuk 7 universitas di Indonesia (Unri, Unand, Unla, UI ITB, IPB dan satu universitas dari Kalimantan)
Seleksi tahap pertama berupa nilai, prestasi, buat esai dan lain-lain dia lolos. Tahap berikutnya memberikan data-data orang tua, termasuk menyertakan slip gaji. Daaan....ternyata ia tak lolos.
Desas desus penyebabnya adalah gaji ayahnya yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa.
Kami sih, nyantai aja. Karena merasa di luar sana banyak orang yang lebih layak menerima beasiswa dari pada dia. Lebih butuh disubsidi pendidikannya dari pada dia.
Dan di telepon dia nyeletuk, "Harusnya slip gaji ayah dimanipulasi dulu. Dibikin kecil. Muthi kan pengen membantu meringankan beban ayah dan ibu."
Kami berdua hanya tertawa. Karena tau dia cuma bercanda. Insya Allah dia sudah paham tentang halal dan haram.
Jadi teringat berita 2-3 tahun yang lalu ketika pendaftaran masuk SMA negeri. Banyak orang tua yang memanipulasi gaji dan jabatan hanya agar bisa mendapat surat miskin sehingga anaknya bisa masuk ke sekolah negeri favorit lewat jalur siswa tak mampu.
Atau memanipulasi tempat tinggal agar bisa masuk ke Sekolah Negeri favorit lewat jalur zonasi.
Atau memanipulasi gaji agar UKT (Uang Kuliah Tunggal) anaknya menjadi murah.
Tidakkah terbayang oleh mereka, bahwa mereka telah merampas hak orang lain untuk bisa sekolah? Atau memangkas subsidi yang seharusnya buat mahasiswa kurang mampu karena manipulasi gaji?
Klu memang gaji kita besar sehingga UKT kuliah anak menjadi tinggi, maka UKT itu akan digunakan untuk mensubsidi anak lain dari golongan yang kurang mampu.
Saya teringat teman kuliah saya. Ketika anaknya lulus di salah satu PTN favorit di negeri ini lewat jalur SNMPTN, mereka diberi formulir yang salah satu isiannya tentang kesanggupan memberikan sumbangan.
Temanku ingin mengisi 5 juta saja. Tapi kata suaminya, "Jangan. Nggak boleh begitu. Kita mampu untuk 11 juta".
Maka diisilah form itu dengan angka 11 juta.
Bayangkan, di saat tak ada paksaan untuk memberi sumbangan, sang suami memakai azaz kepatutan. Dengan kemampuan finansialnya saat itu, dia mampu memberi lebih. Maka, ia pun memberikan lebih.
Di lain waktu, saya tahu, ada seorang anak cerdas lulus di universitas yang sama. Karena ayahnya sudah pensiun dari ASN, ia pun memberi angka 0 di kolom sumbangan. Karena memang tak ada yang bisa diberikan.
Nah, di sisi seperti inilah dibutuhkan subsidi silang. Si kaya menyuplai si kurang mampu.
Alangkah indahnya hidup ini kalau kita saling berbagi. Alangkah indahnya kalau semua anak-anak Indonesia mendapat pendidikan yang layak karena adanya subsidi silang.
Alangkah susahnya apabila si kaya tak mau berbagi. Malah berusaha menyembunyikan hartanya dengan cara memanipulasi gaji.
Marilah kita jujur. Sehingga mengundang keberkahan dan kebaikan dari Allah untuk anak kita yang sedang menuntut ilmu.
Manalah mungkin kita mengharapkan kebaikan dan keberkahan kalau memulai sesuatu dengan yang haram?
Anak yg cerdas dan berakhlak baik dimulai dari orang tua yang JUJUR.

Untuk Muthia anakku. Tetap semangat. Insya Allah, Allah siapkan yang terbaik untukmu di lain waktu. Engkau anak baik. 

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.