Beri Mereka Vitamin Kehidupan




Grup WA sekolah merupakan grup untuk berinteraksi para orang tua dengan sekolah. Tempat menyebarkan informasi dari sekolah ke orang tua juga antar sesama orang tua. 

Kadang sebuah informasi diaminkan bersama-sama. Tapi tak jarang suatu informasi malah memancing perdebatan. Kalau sudah begitu grup akan ramai dengan percakapan.

Saya biasanya tak terlalu aktif dalam suatu grup. Seringnya hanya sebagai silent reader Mengamati. Dan sesekali ikut komentar.
Anak saya yang pertama, bersekolah di sebuah sekolah boarding. Sedangkan dua adiknya bersekolah di sekolah alam.
Mengikuti grup WA ini kadang sangat menarik. Dari grup sekolah alam, orang tuanya rata2 sangat enjoy dg berbagai kebijakan maupun metoda pembelajaran kepada anaknya.
Tapi tak begitu dengan grup orang tua di sekolah boarding anak saya. Di sini agak lebih heboh. Mungkin karena berbagai macam latar belakang orang tua, baik pendidikan, finansial juga culture tempat tinggal (di sini banyak anak dr berbagai negara). Sebagian dari mereka sangat over protektif thd anaknya. Anaknya harus nyaman dan siap membayar lebih untuk itu.
Ketika anakku yang di boarding school akan melakukan perjalanan mereka yang pertama kali di kelas 10 ke ibukota kabupaten tanpa pengawalan dari gurunya, hebohnya luar biasa di WAG. Peraturan di sekolah anakku ini adalah siswa SMP kalau hendak ke ibukota kabupaten harus ditemani guru. Tapi untuk anak SMA mereka boleh pergi tanpa pengawalan guru. Syaratnya harus berombongan.
Percaya tidak bahwa yang diributkan para orang tua ini adalah naik angkot. Apakah angkotnya aman dinaiki anak perempuan? Apakah angkotnya berizin? Kalau nanti anak diculik bagaimana? Apakah sekolah sudah mendata nama-nama semua supir angkot sehingga ketika kalau ada apa-apa gampang ditrekking? Apakah sekolah sudah bekerja sama dengan pihak-pihak angkot? Dan pertanyaan lain-lain yang membuat pening kepala saya. Untung bukan saya yang harus menjawab semua pertanyaan itu. 😁😁
Sampai-sampai saya heran, apakah para orang tua ini tidak pernah naik angkot seumur hidupnya sehingga ketakutannya terhadap angkot sedemikian luar biasa? Dan yang meributkan masalah angkot ini bukan hanya para ibu, suara para bapak pun tak kalah nyaringnya. Dan akhirnya, saking khawatirnya, sebagian dari mereka tidak mengizinkan anaknya untuk bepergian ke ibukota kabupaten untuk membeli berbagai keperluan mereka yang tak tersedia di koperasi sekolah, hanya karena naik angkot.
Padahal, guru sudah menjelaskan, bahwa naik angkot ke ibukota kabupaten, bersama teman-teman tanpa pengawalan guru adalah bagian dari pembelajaran kemandirian. Karena mereka kelak akan kuliah dan harus bisa melakukan apa saja sendirian. Tapi para ortu ini tetap emoh.
Rasanya ingin ikut nimbrung, hellow…mereka berangkat itu bukan 1-2 orang. Tapi sekitar 40-50 orang. Apa ada yang berani menculik anak sebanyak itu?
Ketika anak-anak pergi ke Malang hendak memperdalam bahasa Inggris di suatu kampung Inggris di sana, kehebohan kembali terjadi. Banyak orang tua yang mengeluh karena anak-anak berangkat dengan menggunakan kereta ekonomi. Yang menurut mereka, kereta ekonomi jauh dari standar nyaman. Yang sandaran kursinya tegak lurus lah, yang nanti susah tidurlah, apalagi perjalanan dengan kereta ke Malang 10 jam lebih, meminta dipindahkan ke kereta api eksekutif lah. Macam-macam keluhan maupun permintaan mereka. Tapi sekolah tetap dengan keputusannya. Dan ketika pulang, ada sebagian anak-anak yang pulangnya akhirnya menggunakan pesawat yang tiketnya dibelikan oleh orang tua mereka masing-masing. Tak lagi naik kereta ekonomi bersama teman-teman lainnya.
Yang terbaru, ketika sekolah mereka ada acara, dengan jumlah siswa yang lebih dari 1000 orang (SMP dan SMA) sebagian siswa kebagian bus dan sebagian lagi naik truk. Dan….keributan kembali terjadi memprotes kebijakan naik truk di WAG. Komentar pun deras bak air bah. Kalau naik truk anak-anak bisa kehujanan dan kepanasan (padahal waktu itu jelas tidak hujan), tidak nyaman, anak-anak tersikut temannya, tidak pantas anak-anak naik truk, beresiko karena jalan naik turun dan berkelok-kelok, mengusulkan beli bus sendiri dan lain-lain, dan lain-lain.
Oh…my God. Luar biasa para horang kayah ini. 😅😅
Kali ini saya tidak tahan. Keluar juga sedikit komentar,
“Kalau saya, tidak masalah anak-anak naik truk. Tidak selalu mereka harus dibuat nyaman terus, dilayani dengan fasilitas bagus terus. Karena hidup itu bergelombang. Banyak merasa, banyak melihat, banyak melakukan itu akan lebih baik buat mereka. Itu akan membuat mereka lebih bijaksana kelak. Insya Allah”

Dan tiba-tiba saja semua keluhan berhenti. Yang keluar berikutnya adalah jempol-jempol dan pernyataan setuju.
Kenapa anak-anak harus disterilkan dari kesusahan dan kegagalan? Sampai kapan kita bisa mendampingi mereka terus dan memproteksi mereka dari segala kesusahan maupun kegagalan? Apakah yakin kita bisa hidup terus dan kuat terus untuk mendampingi dan menghalau semua kepahitan mereka kelak?
Bukankah tujuan pendidikan itu untuk mempersiapkan mereka kelak agar mandiri. Tidak hanya mandiri dalam melakukan tugas-tugasnya tapi juga mandiri dalam menghadapi persoalan hidup. Apalagi kalau mereka sudah berkeluarga nanti. Ada anak-anak yang berada dalam asuhan mereka, berada dalam tanggung jawab mereka.
Seperti kata orang-orang pintar, semakin banyak stimulasi yang di dapat oleh seorang anak, maka ia akan semakin cerdas. Karena neutron-neutron otaknya menjadi saling menyambung. Tentu tak hanya sekedar cerdas, mereka akan menjadi lebih bijaksana karena mereka akan mampu menilai dan menyikapi berbagai macam perbedaan dan persoalan yang mereka hadapi.
Dan betapa miskinnya mereka akan pengalaman kalau seandainya mereka kita sterilkan dari kesusahan, dari kegagalan atau kesedihan. Itu hanya akan membuat daya tahan mereka terhadap suatu masalah sangat rendah.
Mungkin kita ingat dengan kejadian tahun 2016 tentang seorang mahasiswa UI yang meninggal dunia karena bunuh diri hanya karena skripsinya dua kali ditolak oleh dosennya. Menurut berita, sang mahasiswa ini adalah anak yang pintar dari SD sampai SMA. Tidak pernah menemui hambatan. Sehingga ketika menemui kesulitan, ia tidak pernah punya pengalaman untuk menghadapinya. Mentalnya sangat rapuh. Maka hanya jalan pintas yang terpikir olehnya ketika menghadapi masalah. Wallahualam bishawab.
Kesulitan, hambatan, kepedihan itu adalah vitamin kehidupan bagi anak. Vitamin itu membuat ia belajar menjadi pribadi tangguh. Ia belajar bersabar dari hinaan yang ia terima, ia belajar mencari solusi dari kegagalan yang ia alami, ia belajar tabah dari kesulitan yang ia hadapi, dan ia juga bisa berempati ketika orang lain mengalami kesusahan dan kesulitan seperti yang ia alami.
Percayalah, vitamin kehidupan ini akan sangat berguna bagi anak-anak kita ketika mereka harus bertarung menghadapi hidup ini, di saat kita tak bisa lagi hadir mendampingi dan memproteksi mereka.
Tulisan bunda Elly Risman ini sangat bagus untuk kita renungkan bersama.
Kita tidak pernah tahu, anak kita akan terlempar ke bagian bumi Allah yang mana nanti, maka izinkanlah dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri .
Jangan memainkan semua peran,
ya jadi ibu,
ya jadi koki,
ya jadi tukang cuci.
ya jadi ayah,
ya jadi supir,
ya jadi tukang ledeng,
Anda bukan anggota tim SAR!
Anak anda tidak dalam keadaan bahaya.
Tidak ada sinyal S.O.S!
Jangan selalu memaksa untuk membantu dan memperbaiki semuanya.
#‎Anak‬ mengeluh karena mainan puzzlenya tidak bisa nyambung menjadi satu, "Sini...Ayah bantu!".
#‎Tutup‬ botol minum sedikit susah dibuka, "Sini...Mama saja".
#‎Tali‬ sepatu sulit diikat, "Sini...Ayah ikatkan".
#‎Kecipratan‬ sedikit minyak‬‬‬‬
"Sudah sini, Mama aja yang masak".
Kapan anaknya bisa?
Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana,
Apa yang terjadi ketika bencana benar2 datang?
Berikan anak2 kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri.
Kemampuan menangani stress,
Menyelesaikan masalah,
dan mencari solusi,
merupakan keterampilan/skill yang wajib dimiliki.
Dan skill ini harus dilatih untuk bisa terampil,
Skill ini tidak akan muncul begitu saja hanya dengan simsalabim!
Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan.
Bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi,
tapi juga lulus melewati ujian badai pernikahan dan kehidupannya kelak.
Tampaknya sepele sekarang...
Secara apalah salahnya kita bantu anak?
Tapi jika anda segera bergegas mnyelamatkannya dari segala kesulitan, dia akan menjadi ringkih dan mudah layu.
Sakit sedikit, mengeluh.
Berantem sedikit, minta cerai.
Masalah sedikit, jadi gila.
Jika anda menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan uang untuk IQ nya, maka habiskan pula hal yang sama untuk AQ nya.
AQ?
Apa itu?
ADVERSITY QUOTIENT
Menurut Paul G. Stoltz,
AQ adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Bukankah kecerdasan ini lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Perasaan mampu melewati ujian itu luar biasa nikmatnya.
Bisa menyelesaikan masalah, mulai dari hal yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tidak sanggup lagi.
So, izinkanlah anak anda melewati kesulitan hidup...
Tidak masalah anak mengalami sedikit luka,
sedikit menangis,
sedikit kecewa,
sedikit telat,
dan sedikit kehujanan.
Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan.
Ajari mereka menangani frustrasi.
Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel,
Apa yang terjadi jika anda tidak bernafas lagi esok hari?
Bisa2 anak anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi,
Ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih.
Apalagi menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi,
Jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua.
Tapi sadarilah,
hidup tidaklah mudah,
masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan.
Melewati hujan, badai, dan kesulitan,
yang kadang tidak bisa dihindari.
Selamat merenung.


Karawang, 5 Mei 2019

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.