Childfree? Yakin?

 



Akhir-akhir ini, ramai sekali perbincangan tentang kaum penganut childfree. Sebuah paham yang menolak memiliki anak.


Saya jadi ingat perbincangan saya dengan si sulung setahun yang lalu ketika kami jalan pagi berdua mengelilingi kampus UPI yang sangat luas dan indah. Dan diakhiri dengan sarapan pagi di jalan Geger Kalong Girang. Rumah mertua, maksudnya. Maknyuuus...😀👍


Sambil jalan santai kami berbincang apa saja. Termasuk tentang childfree.


Semenjak menjadi mahasiswa psikologi, dia ikut sebuah grup diskusi dari luar negeri. Kadang diskusinya membuat kita tercengang. Saking sekulernya pemikiran mereka. Salah satunya masalah childfree ini. (Emak sering diceritain. Karena kalau ikutan baca, bahasa inggrisnya tiarap 🤣)


Diskusi dimulai dari curhat seorang gadis India kebangsaan Amerika. Orang tuanya adalah imigran dari India. Dia curhat tentang orang tuanya yang memiliki banyak anak. Sementara mereka hidup dalam kemiskinan. Dan dia merasa orang tuanya tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Karena tak mampu memberikan penghidupan yang layak. Kalau tak mampu secara finansial, kenapa punya anak banyak?


Sehingga ketika usia belasan, dia keluar dari rumah dan mencari penghidupan sendiri. Tapi orang tuanya sering meminta uang kepadanya untuk membeli makanan buat adik-adiknya. Awalnya dia memberi, tapi lama-lama dia tak memberi lagi karena menurutnya itu adalah tanggung jawab orang tuanya untuk menafkahi anaknya. Akhirnya dia pun mendapat caci maki dari orang tuanya. 


Dan diskusi dimulai.


Karena kebanyakan pesertanya dari negara barat, maka pikiran mereka sangat sekuler. Semua dinilai dengan materi. Dihitung untung ruginya. Karena mereka tidak mengenal konsep ikhlas apalagi pahala. 


Bagi mereka anak itu beban. Kamu bisa miskin dengan cepat apabila memiliki anak. Biaya membesarkan anak sangatlah besar. Untuk 1 anak butuh biaya milyaran untuk membesarkannya dari bayi sampai dewasa. Membesarkan mereka mampu mengurangi kebahagiaan bersama pasangan. Karena sederet kewajiban yang harus dipikul ketika memiliki anak. 


Dan karena membesarkan anak adalah kewajiban orang tua, maka setelah mereka dewasa, orang tua tak berhak menuntut anak untuk membahagiakan mereka. Karena anak tak minta dilahirkan. Kita lah yang ingin mereka hadir.


Wuiih...seram sekali pemikiran mereka. Mungkin karena mereka belum pernah merasakan bahagianya melihat anak tumbuh. Mendengar celoteh anak. Apalagi menerima bakti anak. 


Makhluk hidup yang bernama manusia bakal punah kalau penghuni bumi hanya diisi oleh kaum mereka. 


Ketika si gadis meminta pendapat saya atas masalah ini, saya cuma bilang,


"Yakin kita bisa masuk surga dengan amalan sendiri?


Manusia yang pertama dihisab di akhirat nanti ada 3 orang. Ulama, dermawan dan pahlawan. Si ulama dengan ilmunya dan ibadahnya yang banyak, ternyata tidak bisa masuk surga karena terselip riya di hatinya. Dia beramal bukan karena Allah tapi karena ingin dipuji oleh manusia karena kesholihannya. 


Dermawan yang suka memberi, ternyata terselip rasa ingin dipuji oleh manusia. Terselip riya di hatinya sehingga niatnya bukan lagi muni karena mencari ridho Allah.


Pahlawan yang mati syahid, ternyata terselip rasa ingin dipuji oleh manusia, bahwa dia pemberani dan bukan berjuang karena Allah.


Akhirnya ketiga-tiganya masuk neraka.


Berkaca dengan kasus mereka, bagaimana kita bisa yakin, amal ibadah kita yang sedikit ini bisa menghantarkan kita masuk surga?


Tapi kalau do'a anak yang sholih tak ada hijab dengan Allah. Langsung dikabulkan Allah."


"Mau pilih yang mana? Tak mau punya anak atau punya anak yang sholih?"


Dia langsung mengangguk-ngangguk.


Emak tancap gas gigi 4. Mumpung pikirannya lagi terbuka.


"Membesarkan anak, memang tidak mudah. Banyak onak durinya. Tapi kalau ikhlas, akan banyak feedback dari Allah. Banyak kelucuan dan kebahagiaan membersamai mereka. Banyak ilmu yang kita dapat saat membesarkan mereka. Dan dapat pahala amal jariyah dari Allah.


Anak bukan beban. Meskipun membesarkan dan mendidik mereka menjadi anak yang sholih itu berat, justru itu ladang amal bagi orang tuanya. Hadiahnya surga. Kalau membesarkan anak itu mudah,hadiahnya kipas angin."


Dia pun terkekeh.😁


Sungguh agama Islam ini, agama yang Indah. Mengajarkan kita untuk bersabar dalam proses dan ikhlas dalam setiap perbuatan.  Terutama sabar dan ikhlas dalam membesarkan anak. Dan tersedia pahala yang berlipat ganda di sana.


Tapi mengajarkan konsep anak adalah anugrah kepada penganut childfree, apalagi non muslim, ibarat menggantang asap. Memiliki anak adalah fitrah kehidupan, tak sampai di logika mereka. Karena tujuan hidup mereka adalah kebahagiaan duniawi dengan penghambaan kepada materi. 


"Harusnya saya bisa santai, g jadi karena harus nyebokin anak. Harusnya saya bisa beli kendaraan, g bisa karena bayar uang masuk sekolah anak. Harusnya saya bisa liburan dengan suami, g bisa karena uangnya dipakai untuk berobat anak sakit."


Sehingga memiliki anak ibarat menyusahkan diri sampai puluhan tahun ke depan. 


Suram sekali ya pemikiran mereka?


Tapi pemikiran begini memang patut kita waspadai. Karena pemikiran itu sangat menular. Apalagi kalau konsep agama kurang. Apalagi kalau lingkungan kita atau lingkungan pertemanan anak (yang sudah dewasa) rata-rata penganut paham begini. 


Penting kita jaga anak kita. Penting anak-anak kita paham dengan konsep dunia dan akhirat. Paham tujuan penciptaan mereka. Paham tauhid. 


Semoga anak-anak kita dijauhkan dari pemikiran sesat begini.

Hanya Allah tempat berlindung dan sebaik-baik penjaga. Aamiin ya rabbal'alamiin

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.