Review Film 'Duka Sedalam Cinta'



Alhamdulillah.... hari ke 3 tayang, saya dan anak-anak berkesempatan menonton sekuel film 'Ketika Mas Gagah Pergi' yaitu 'Duka Sedalam Cinta'. Moment ini cukup langka, mengingat si sulung yang bersekolah di pesantren. Seringkali timingnya tidak pas. Dan Alhamdulilah bisa nobar dengan Masaji dan Aquino Umar.

Sebenarnya saya bukan kritikus film. Tapi pengen komen aja.

Pada dasarnya film Ketika Mas Gagah Pergi, film bagus. Kisah tentang hijrahnya seorang kakak yang kemudian mendapatkan perlawanan dari adik yg disayanginya. Tapi dengan keteladanan akhlaknya mampu membawa keluarganya turut berhijrah. Sebuah cerita yang menggugah dan sanggup membuat air mata bercucuran. Alur ceritanya sederhana dan mudah dimengerti. Ditambah dengan gambar yang indah, pemain yang aktingnya lumayan especially Gita, keren banget, serta lagu dan musik yg indah sehingga mampu membawa kita hanyut dalam cerita.

Tapiii....
Jamaknya film Indonesia, selalu terasa kurang greget. Alur cerita yang sebenarnya bisa singkat padat mantap, malah dipanjang-panjangin. Konflik yg kurang tajam dan kurang diolah sehingga terasa konflik hanya pelengkap penderita atau sekedar ditemplokin dan ending yang biasa saja. 

Harusnya film Ketika Mas Gagah Pergi, bisa selesai dalam 1 film. Sehingga ceritanya bisa padat dengan alur cepat. Banyak adegan yg sebenarnya tidak perlu. Sehingga terkesan cuma untuk memperpanjang durasi cerita. Apalagi setelah mas Gagah pergi, adegan Yudi yg diangkat menjadi pimpinan perusahaan itu rasanya tidak krusial untuk ditampilkan. Juga adegan Asma Nadia di akhir cerita yg mengatakan bahwa 'dia bahagia, bahwa kerudung biru yg diberikan Nadia kepada Gita akhirnya kembali lagi ke Nadia dengan cara Allah', itu enggak banget. Nggak ada esensinya. Seakan-akan sekedar dibuat untuk memenuhi kuota waktu yg masih panjang. 

Alhasil, film duka sedalam cinta, alurnya lamban, durasi film lebih pendek, cerita lebih sedikit, dan banyak pengulangan dari film sekuel pertama 'ketika mas gagah pergi' untuk merefresh ingatan penonton. 

Alangkah elok ceritanya selesai ketika Mas Gagah meninggal, sehingga perasaan haru biru nan greget penonton bertahan sampai mereka pulang. 

Terus, konflik yg diolah benar-benar ala kadarnya. Gesekan antara anggota rumah cinta dg preman kampung sebelah tidak terasa. Penonton tidak merasakan adanya ketegangan yg membuat adrenalin naik. Tiba2 preman kampung sebelah sdh menyerang dg bom molotov. Dan di rumah sakit, salah satu mantan preman rumah cinta itu menjelaskan kenapa preman kampung sebelah menyerang mereka. Enggak banget kan kalau begini? Tipikal Indonesia banget. Semua harus dijelaskan dengan kata2. Kalau film Hollywood sana, mereka tidak menceritakan kronologis lewat mulut pemeran tp membuat kita menyimpulkan sendiri dari adegan-adegan yang berlangsung. 

Kadang saya merasa, para sutradara atau penulis naskah film Indonesia, merasa penonton Indonesia itu 'tulalit' sehingga setiap kejadian harus diceritakan secara verbal. Seperti sinetron Indonesia, yang kata hati sang tokoh sampai harus diperdengarkan. Padahal kita penonton yang cerdas lho... 

Terus kenapa tiba2 Mas Gagah kritis? Kena bom molotov? Kenapa tidak terlihat luka bakar? Kena pukul? Kenapa tidak terlihat bonyok? Hanya kepala yg diperban dan pipi baret sedikit. Dan kenapa hanya Mas Gagah saja yg terluka sedangkan yg lain sehat wal'afiat dan segar bugar? Film ini lemah banget dari sisi konflik. 

Akhirul kata kepada para sineas Indonesia, yuuk... terus berkarya. Bikin film yang lebih greget. Penonton Indonesia itu cerdas-cerdas kok.... Jadi tak perlu semua kronologis apalagi sampai kata hati dijelaskan kepada penonton.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.