Dulu....
Setiap makan di resto, saya jarang menghitung ulang tagihan makan.
Gengsi doong.... Keliatan g bisa ngitung cepet. 😁😁😁
Setiap makan di resto, saya jarang menghitung ulang tagihan makan.
Gengsi doong.... Keliatan g bisa ngitung cepet. 😁😁😁
Gengsi doong.... mampu makan di resto, tapi giliran bayar diitungin ampe detil. Kayak orang pelit. 😂😂
Padahal.... padahal itu mungkin hanya pikiran saya saja.
Sampai suatu hari...
Saya makan di resto Minang terkenal di Bogor. Ketika saya hendak membayar di kasir, sudah ada seorang ibu chiness di sana hendak membayar juga. Rupanya dia tidak percaya dengan hitungan juru hitung resto. Dia keluarkan sendiri kalkulator tukang berasnya (saking besarnya😁). Ternyata selisih angka, klu tak salah sebesar 134.000. Lumayan kan?
Saya makan di resto Minang terkenal di Bogor. Ketika saya hendak membayar di kasir, sudah ada seorang ibu chiness di sana hendak membayar juga. Rupanya dia tidak percaya dengan hitungan juru hitung resto. Dia keluarkan sendiri kalkulator tukang berasnya (saking besarnya😁). Ternyata selisih angka, klu tak salah sebesar 134.000. Lumayan kan?
Saya terpana. Si ibu chiness itu yang notabene tentu lebih kaya dari saya, tak gengsi menghitung ulang tagihan makannya. Tak takut disebut pelit. Dia cermat. Dia teliti.
Dari situ, saya coba belajar. Tak salah bila kita teliti dan cermat. Kadang, kalau saya malu menghitung ulang di depan kasir, saya bayar dulu, kemudian saya hitung ulang di luar resto.
Ternyata...
Banyak hikmah dari cermat menghitung ulang tagihan makan di resto ini. Bukan... Bukan selisih hitungan seperti ibu itu. Kasirnya teliti kok.
Banyak hikmah dari cermat menghitung ulang tagihan makan di resto ini. Bukan... Bukan selisih hitungan seperti ibu itu. Kasirnya teliti kok.
Tetapi saya justru menemukan beberapa kali, apa yang kami makan tidak terbayar karena sang juru hitung lupa memasukkan makanan tersebut. Sehingga tak terhitung dan tak terbayar.
Pertama kali, ketika kami makan di RM Padang di Subang. Karena sudah malam dan buru-buru mau mengantar si gadis ke asrama, saya bayar saja. Setelah di rumah saya cek. Ternyata satu porsi cincang yang kami makan seharga 35 ribu tak terhitung. Bulan depan ketika menengok si gadis, saya terpaksa balik lagi ke RM itu untuk membayar kekurangannya.
Berikutnya, habis pergi jalan-jalan dengan teman, kami makan di sebuah resto di rest area km 39. Karena sudah malam juga, saya lupa mencek dan langsung bayar saja. Ternyata setelah di cek di rumah, dua potong ayam bakar tak terhitung. Alhasil, seminggu kemudian, kami sekeluarga makan lagi di resto itu sekalian membayar kekurangan yang dulu.
Terakhir kemaren.
Setelah seminggu si bujang di pesantren, kami menengok dia. Melihat langsung kondisinya setelah seminggu mondok, sekalian mengajaknya keluar asrama dan makan-makan di resto.
Setelah seminggu si bujang di pesantren, kami menengok dia. Melihat langsung kondisinya setelah seminggu mondok, sekalian mengajaknya keluar asrama dan makan-makan di resto.
Karena masih siang, dan tidak terburu-buru, saya cek langsung tagihan makan. Ternyata kejadian lagi. 1 kelapa murni tak terhitung. Sehingga langsung bisa dibayar. Alhamdulillah....
Pepatah Minang berkata, "Alam takambang jadi guru". Alam terkembang menjadi guru. Semua yang terjadi di alam ini bisa menjadi guru. Secara tak langsung saya belajar cermat dan tak gengsian dari ibu-ibu chiness itu. Kecermatan ini menghindarkan saya dari memakan makanan yang tak halal karena tak dibayar.
Memang, klu kita tak tau, bukan salah kita. Tapi kecermatan kita bisa menghindarkan orang lain dari kerugian dan menghindarkan kita dari memakan sesuatu yang bukan hak kita. Bukankah cermat itu lebih baik? 😍😍
Anyer, 14 Juli 2019
0 comments:
Post a Comment